Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan
Kesenjangan
ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat
berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpandapatan rendah serta tingkat
kemiskinan atau jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan merupakan dua
masalah besar yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang, tidak
terkecuali Indonesia.
Pada
awal periode orde baru hingga akhir dekade 1970-an strategi pembangunan ekonomi
lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan yang tinggi dalam
suatu periode yang sangat singkat. Pada akhir dekade itu strategi pembangunan
diubah , tidak lagi hanya pertumbuhan tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat.
Hingga menjelang krisis nilai tukar, program yang dilakukan pemerintah yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan perbedaan pendapatan antara
kelompok miskin dan kelompok kaya, seperti Inpres Desa tertinggal (IDT).
Di
negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara
pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun
hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu
akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP
yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi
merupakan pilihan yang harus diambil. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya
soal bagaimana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan
berhak menikmati hasil-hasilnya
Persoalan
kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian
pemerintah. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi penanggulangan
kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran.
Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrument tangguh
bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup orang
miskin. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan
pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan
daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki
posisi mereka.
1.1 Latar Belakang
Indonesia
telah mengalami kemajuan dalam mengurangi kemiskinan tapi banyak orang tetap
miskin dan rentan. Berlanjutnya pertumbuhan ekonomi telah membantu banyak orang
Indonesia keluar dari kemiskinan dengan menciptakan lebih banyak lapangan kerja
dan meningkatkan pengeluaran publik untuk kesehatan, pendidikan dan
infrastruktur. Sejak pemilu nasional tahun 2004, persentase masyarakat miskin
telah turun dari 16,7 persen menjadi 14,15 persen (2009).
Meskipun
ada keuntungan ini, 32,5 juta penduduk Indonesia saat ini hidup di bawah garis
kemiskinan dan sekitar setengah dari seluruh rumah tangga tetap berada di
sekitar garis kemiskinan nasional (Rp200.262/bulan). Kesenjangan antara
masyarakat miskin dan tidak miskin juga semakin melebar. Koefisien Gini, ukuran
ketidaksetaraan konsumsi, telah meningkat dari 31,7 pada tahun 1999 menjadi
sekitar 35 pada tahun 2009. Kesenjangan regional juga tetap ada; kawasan timur
tertinggal dari bagian-bagian lain Indonesia, terutama Jawa. Selain itu, 17,35
persen masyarakat pedesaan miskin, dibandingkan dengan 10,7 persen dari penduduk
perkotaan, atau dengan kata lain, 70% dari orang miskin tinggal di daerah
pedesaan.
1.2
Konsep dan Definisi Kemiskinan
Defenisi
kemiskinan terbagi dua,
a.
Kemiskinan relative (yang mengaju pada
garis kemiskinan) yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan didalam distribusi
pendapatan, biasanya dapat didefisisikan didalam kaitannya dengan tingkat
rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Dinegara-negara maju, kemiskinan
relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata
perkapita. Standar minimum disusun berdasarakan kondisi hidup suatu negara pada
waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”,
misalnya 20 persen atau 40 persen dari total penduduk yang telah diurutkan
menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relative
miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relative sangat tergantung pada
distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi
ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.Dalam hal mengidentifikasi
dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relative cukup
untuk untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat tingkat pembangunan
negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relative tidak dapat dipakai untuk
membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak
mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
b.
Kemiskinan absolute (derajat kemiskinan
di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat
terpenuhi. Yaitu suatu ukuran tetap didalam bentuk suatu kebutuhan kalori
minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan
untuk survive. Kemiskinan absolute ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum seprti pangan, sandang, kesehatan, perumahan
dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan
minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai
kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis
kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan
sebagai penduduk miskin.
Garis
kemiskinan absolute sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek
dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari
suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil).
Angka kemiskinan akan terbanding antara satu Negara dengan Negara lain hanya
jika garis kemiskinan absolute yang sama digunakandi kedua Negara tersebut.
Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolute agar dapat membandingkan angka
kemiskinan antar Negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan
sumber daya financial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam
memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank
Dunia, yaitu:
·
US $1 per hari dimana diperkirakan ada
sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut;
·
US $2 per hari dimana lebih dari 2
miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. Kedua batas ini adalah
garis kemiskinan absolute.
c.
Kemiskinan Lainnya, Kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang ditengarai bersebab dari kondisi struktur atau tatanan
kehidupan yang tak menguntungkan.
Kemiskinan Cultural disebabkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan.
Kemiskinan Cultural disebabkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan.
1.3 Pokok Permasalahan
Ada banyak permasalahan dalam pendistribusian pendapatan dan pelaksanaan
program dalam rangka pengentasan masyarakat dari zona kemiskinan. Namun kali
ini, kita hanya akan membahas beberapa titik – titik strategis yang berkaitan
dalam materi di atas, diantaranya :
a.
Apakah kebijakan yang
diterapkan pemerintah dalam mengintervensi angka kemiskinan sekaligus
pendistribusian pendapatan sudah tepat guna ?
b.
Apa saja langkah yang
diambil pemerintah dalam usahanya meningkatkan taraf kesejahteraan hidup
masyarakat Indonesia ?
c.
Dari segi teoritis, apa
strategi taktis yang cocok diterapkan pada masyarakat Indonesia agar menjadi
masyarakat yang mapan dan tahan guncangan ekonomi sehingga menciptakan iklim
perekonomian yang stabil ?
1.4 Tujuan
Tujuan dari pemaparan materi di atas adalah, kita diharapkan dapat :
a.
Mengetahui kebijakan pemerintah
dalam mengintervensi angka kemiskinan sekaligus pendistribusian pendapatan
sehingga dapat meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam pembangunan..
b.
Mengetahui dampak dari
kebijakan pemerintah dalam usahanya meningkatkan taraf kesejahteraan hidup masyarakat
Indonesia, sehingga masyarakat bisa bersikap lebih profesional dalam menyambut
pembangunan.
c.
Mengetahui langkah strategis
untuk mencapai taraf kesejahteraan hidup layak yang berkesinambungan.
1.5 Landasan Teori
Definisi
kemiskinan menurut beberapa ahli
a.
Menurut
Sallatang (1986) kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan
pendapatan dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar atau
ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan sosial.
b.
Menurut
Esmara (1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan
sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena
kemiskinan umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang layak.
c.
Menurut Basri (1995) bahwa
kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan serba kekurangan dalam pemenuhan
sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan, pekerjaan, pendidikan,
pengetahuan, dan lain sebagainya.
d.
Poli (1993) menggambarkan
kemiskinan sebagai keadaan ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas
kebutuhan dasar, rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif,
ketidakmampuan memelihara kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan
bantuan, adanya perilaku antisosial (anti-social behavior), kurangnya dukungan
jaringan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan
keterpencilan, serta ketidakmampuan dan keterpisahan.
e.
Bappenas dalam dokumen Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan masalah kemiskinan
bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan
kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk
menjadi miskin.
BAB II
PEMBAHASAN
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala.
Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan,
tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran
kehidupan modern pada masakini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman
modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya
dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara
maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan
di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul
di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja
pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga
kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh
yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas,
pengangguran.
2.1
Distribusi Pendapatan
Nasional Di Indonesia
Pendapatan
nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga
keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam
satu periode,biasanya selama satu tahun.
Distribusi
pendapatan nasional menggambarkan merata atau timpangnya pembagian hasil
pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Distribusi pendapatan
nasional akan menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi akan mampu
menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat.
Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan
kemakmuran bagi masyarakat secara umum.
Ketidakmerataan
distribusi pendapatan merupakan salah satu permasalahana pembangunan sebab
pertumbuhan ekonomi tidak banyak bermanfaat terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat apabila distribusi hasil pembangunan tidak merata. Terdapat 8
(delapan) penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan, diantaranya:
pertumbuhan penduduk yang tinggi, inflasi, pembangunan daerah tidak merata,
penggangguran tinggi, mobilitas sosial rendah, memburuknya nilai tukar produk
NSB, dan hancurnya industri kerajinan rakyat.
Kriteria
ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang
dinikmati oleh tiga lapisan penduduk.
Indikator
ketimpangan distribusi pendapatan menurut Bank Dunia :
Distribusi
Pendapatan
|
Tingkat
Ketimpangan atau Kesenjangan
|
Kelompok
40% penduduk termiskin pengeluarannya <12% dari keseluruhan pengeluaran
|
Tinggi
|
Kelompok
40% penduduk termiskin pengeluarannya 12% sampai 17% dari keseluruhan
pengeluaran
|
Sedang
|
Pengeluarannya
>17% dari keseluruhan pengeluaran
|
Rendah
|
Persentase
Pembagian Pendapatan Nasional di Antara 3 Lapisan Pendapatan
1999
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
|
40%
pendapatan terendah
|
21,66
|
20,92
|
20,57
|
20,80
|
18,81
|
19,75
|
19,10
|
19,56
|
21,22*
|
18,05*
|
16,85*
|
40%
pendapatan menengah
|
37,77
|
36,89
|
37,10
|
37,13
|
36,40
|
38,10
|
36,11
|
35,67
|
37,54*
|
36,48*
|
34,73*
|
20%
pendapatan tertinggi
|
40,57
|
42,19
|
42,33
|
42,07
|
44,78
|
42,15
|
44,79
|
44,77
|
41,24*
|
45,47*
|
48,42*
|
Sumber : Survei
Sosial Ekonomi Nasional , Modul Konsumsi 1999, 2002 dan 2005 (2003, 2004 dan
2006 hanya mencakup panel 10.000 rumahtangga, sedangkan 2007, 2008, 2009, dan
2010 mencakup panel 68.800 rumah tangga), Tahun 2011 merupakan data Susenas
Triwulan I (Maret 2011) dengan sampel 75.000 rumah tangga
* Dihitung
dengan menggunakan data individu bukan data kelompok pengeluaran seperti pada
tahun sebelumnya.
2.2
Kemiskinan di Indonesia
Tahun
|
Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang)
|
Persentase Penduduk Miskin
|
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
|
|||||
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
|
1970
|
n.a
|
n.a
|
70,00
|
n.a
|
n.a
|
60,00
|
n.a
|
n.a
|
1976
|
10,00
|
44,20
|
54,20
|
38,80
|
40,40
|
40,10
|
4
522,00
|
2 849,00
|
1978
|
8,30
|
38,90
|
47,20
|
30,80
|
33,40
|
33,30
|
4
969,00
|
2
981,00
|
1980
|
9,50
|
32,80
|
42,30
|
29,00
|
28,40
|
28,60
|
6
831,00
|
4
449,00
|
1981
|
9,30
|
31,30
|
40,60
|
28,10
|
26,50
|
26,90
|
9
777,00
|
5
877,00
|
1984
|
9,30
|
25,70
|
35,00
|
23,10
|
21,20
|
21,60
|
13
731,00
|
7
746,00
|
1987
|
9,70
|
20,30
|
30,00
|
20,10
|
16,10
|
17,40
|
17
381,00
|
10
294,00
|
1990
|
9,40
|
17,80
|
27,20
|
16,80
|
14,30
|
15,10
|
20
614,00
|
13
295,00
|
1993
|
8,70
|
17,20
|
25,90
|
13,40
|
13,80
|
13,70
|
27
905,00
|
18
244,00
|
1996
|
7,20
|
15,30
|
22,50
|
9,70
|
12,30
|
11,30
|
38
246,00
|
27
413,00
|
1996
|
9,42
|
24,59
|
34,01
|
13,39
|
19,78
|
17,47
|
42
032,00
|
31
366,00
|
1998
|
17,60
|
31,90
|
49,50
|
21,92
|
25,72
|
24,20
|
96
959,00
|
72
780,00
|
1999
|
15,64
|
32,33
|
47,97
|
19,41
|
26,03
|
23,43
|
92
409,00
|
74
272,00
|
2000
|
12,31
|
26,43
|
38,74
|
14,60
|
22,38
|
19,14
|
91 632,00
|
73 648,00
|
2001
|
8,60
|
29,27
|
37,87
|
9,79
|
24,84
|
18,41
|
100 011,00
|
80 382,00
|
2002
|
13,32
|
25,08
|
38,39
|
14,46
|
21,10
|
18,20
|
130
499,00
|
96
512,00
|
2003
|
12,26
|
25,08
|
37,34
|
13,57
|
20,23
|
17,42
|
138 803,00
|
105 888,00
|
2004
|
11,37
|
24,78
|
36,15
|
12,13
|
20,11
|
16,66
|
143 455,00
|
108 725,00
|
2005
|
12,40
|
22,70
|
35,10
|
11,68
|
19,98
|
15,97
|
165
565,00
|
117
365,00
|
2006
|
14,49
|
24,81
|
39,30
|
13,47
|
21,81
|
17,75
|
174
290,00
|
130
584,00
|
2007
|
13,56
|
23,61
|
37,17
|
12,52
|
20,37
|
16,58
|
187
942,00
|
146
837,00
|
2008
|
12,77
|
22,19
|
34,96
|
11,65
|
18,93
|
15,42
|
204
895,99
|
161
830,79
|
2009
|
11,91
|
20,62
|
32,53
|
10,72
|
17,35
|
14,15
|
222
123,10
|
179
834,57
|
2010
|
11,10
|
19,93
|
31,02
|
9,87
|
16,56
|
13,33
|
232
989,00
|
192
353,83
|
Sumber
: bps indonesia, sosial, data
tingkat kemiskinan, presentase kemiskinan, dan garis kemiskinan
Kemiskinan
adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial,
yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan
(pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi sosial politik yang dapat
dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk
memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang
memadai, dan informasi yang berguna.
Masalah
kemiskinan adalah masalah yang kompleks dan global. Di indonesia masalah
kemiskinan seperti tak kunjung usai. Masih banyak kita dapati para pengemis dan
gelandangan berkeliaran tidak hanya di pedesaan bahkan di kota-kota besar
seperti jakarta pun pemandangan seperti ini menjadi tontonan setiap hari.
Dan dari data di atas dapat
dlihat bahwa perkembangan kemiskinan di Indonesia sejak Maret 2011
hingga Maret 2012 cenderung menurun. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada
bulan Maret 2012 sebesar 29,13 juta orang (11,96%) yang berkurang 0,89 juta
orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang berjumlah 30,02
juta orang (12,49%). Berdasarkan daerah tempat tinggal, selama periode Maret
2011-Maret 2012, penduduk miskin di daerah perkotaan dan pedesaan masing-masing
turun 399,5 ribu orang (0,45%) dan 487 ribu orang (0,60%).
2.3 Strategi
Pemerintah dalam Menekan Angka Kemiskinan
Dalam
kurun waktu 2005-2008 program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan melalui
sinkronisasi berbagai kebijakan lintas sektor yang diarahkan untuk penciptaan
kesempatan usaha bagi masyarakat miskin, pemberdayaan masyarakat miskin,
peningkatan kemampuan masyarakat miskin, serta pemberian perlindungan sosial
bagi masyarakat miskin. Sejak tahun 2009, program penanggulangan kemiskinan
diarahkan pada 4 fokus, yaitu:
i.
Pembangunan dan penyempurnaan sistem
perlindungan sosial dan keberpihakan terhadap rakyat miskin.
ii.
Perluasan akses masyarakat miskin
terhadap kesehatan serta keluarga berencana.
iii.
Penyempurnaan dan perluasan cakupan
program pembangunan berbasis masyarakat.
iv.
Peningkatan usaha rakyat.
Pembangunan
dan penyempurnaan sistem perlindungan sosial dan keberpihakan terhadap rakyat
miskin dilaksanakan melalui kegiatan:
a.
Pemberian Bantuan Langsung Tunai/BLT
bagi 18,5 juta rumah tangga miskin
b.
Pelaksanaan Program Harapan Keluarga/PKH
bagi 720.000 rumah tangga sangat miskin di 13 provinsi;
c.
Subsidi pangan untuk masyarakat miskin
dengan sasaran 18,5 juta rumah tangga sasaran
d.
peningkatan akses dan kualitas
pendidikan dalam bentuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam rangka
mendukung Wajib belajar 9 tahun, serta pemberian beasiswa bagi mahasiswa miskin
e.
Peningkatan kepastian kepemilikan dan
penguasaan tanah dengan membantu masyarakat miskin dalam memperoleh sertifikat
hak atas tanah
f.
Peningkatan akses terhadap air bersih
dengan membangun prasarana air minum perpipaan di perkotaan dan
perdesaan.
Perluasan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan serta keluarga berencana dilaksanakan melalui kegiatan
Perluasan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan serta keluarga berencana dilaksanakan melalui kegiatan
g.
Peningkatan akses masyarakat miskin
terhadap kesehatan melalui program Jaminan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan
(JPSBK) dalam bentuk asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin bagi 76,4 juta
penduduk miskin.
h.
Peningkatan Akses Terhadap Pelayanan
Keluarga Berencana.
Penyempurnaan dan perluasan cakupan program pembangunan berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri atas kegiatan-kegiatan.
Penyempurnaan dan perluasan cakupan program pembangunan berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri atas kegiatan-kegiatan.
kelanjutan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) untuk daerah perdesaan, Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) untuk daerah perkotaan, Program
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Program Pengembangan
Infrastruktur Sosial Ekonomi wilayah (PISEW) dan Program Peningkatan
Infrastruktur Perdesaan (PPIP), kegiatan pengembangan usaha agribisnis
pertanian (PUAP), serta program pemberdayaan bidang kelautan dan perikanan.
Sementara
itu, peningkatan usaha rakyat dilaksanakan melaluipemberdayaan Usaha Mikro dan
Kecil melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR); dan penguatan
modal di sektor pertanian melalui dana penguatan modal-Lembaga Usaha Ekonomi
Perdesaan di 27 provinsi; sertapenguatan akses modal di sektor kelautan dan
perikanan dalam bentuk penguatan akses modal kerja untuk masyarakat pesisir
melalui penyediaan jasa lembaga keuangan di sentra-sentra kegiatan nelayan.
Berbagai
kegiatan tersebut menghasilkan angka kemiskinan yang semakin membaik. Dalam 3
tahun terakhir jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, dari sebesar 37,17
juta (16,58%) pada tahun 2007, menjadi 34,96 juta (15,42%) pada tahun 2008, dan
pada tahun 2009 angkanya menjadi 32,53 juta (14,15%).
2.4 Program
Berkelanjutan dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan dan Pemerataan Distribusi
Pendapatan
Bersamaan
dengan semakin banyaknya orang Indonesia yang keluar dari kemiskinan,
diperlukan program asuransi sosial generasi baru. Komponen sistem asuransi
sosial telah ada, termasuk Askes, program asuransi kesehatan,
dan Jamsostek, program pensiun untuk pekerja sektor formal. Undang-Undang
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) (No. 40/2004) menguraikan
aspirasi nasional untuk menyediakan cakupan universal, dan peta jalan saat ini
sedang dikembangkan untuk membangun sistem nasional yang koheren dan layak,
serta menilai efisiensi dan efektivitas program, tingkat manfaat yang
diberikan, ruang lingkup liputan, serta keterjangkauan dan kesinambungan
fiskal. Tanpa persiapan yang memadai, Indonesia dapat menemukan dirinya dalam
posisi yang sama seperti negara-negara berpenghasilan menengah lain yang
menawarkan manfaat asuransi sosial yang murah hati, tapi kini berjuang karena
kewajiban yang besar.
2.4.1
Upaya penargetan berkelanjutan Kelompok
Kemiskinan termasuk sejumlah proyek besar
Program
uji coba dilaksanakan pada tahun 2008 bersama dengan Badan Pusat Statistik
(BPS) untuk memeriksa efektivitas berbagai Proxy-Means Testing (PMT) dan
pendekatan berbasis masyarakat untuk penargetan rumah tangga miskin dan
membutuhkan. Uji coba lanjutan yang memeriksa gabungan komunitas PMT yang
sedang diperiksa, bersama dengan studi uji coba tentang metode penargetan diri.
Dengan menggunakan berbagai uji coba, pengalaman internasional dan analisis
baru, sebuah studi besar penargetan di Indonesia sedang dilakukan, yang akan
meninjau akurasi sekumpulan lengkap metode, memetakannya ke kebutuhan
penargetan yang berbeda, menilai kapasitas, hambatan fiskal, kelembagaan dan
politik terhadap penerapan, dan mengevaluasi efektivitas sosialisasi saat ini
dan dukungan publik dan politik dari penargetan program bantuan sosial besar.
Selain itu, hal ini akan mengembangkan strategi yang direkomendasikan ke arah
pembentukan sistem penargetan nasional yang terpadu. Akhirnya, serangkaian alat
penargetan direncanakan untuk digunakan di tingkat pemerintah pusat dan daerah
untuk membantu dalam pelaksanaan pendekatan penargetan tertentu dan analisis
efektivitasnya.
Dengan
dukungan keuangan dari Australia Overseas Aid Program (AusAID) Pemerintah
Australia, membantu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam
membangun Sistem Pemantauan dan Tanggapan Krisis (CMR) untuk lebih memahami
bagaimana Krisis Keuangan Global (GFC ) saat ini menular ke Indonesia, yang
diadopsi mekanisme bertahan rumah tangga, dan merupakan hasil sosial ekonomi.
CMR
akan menggunakan data baru dan yang ada untuk menyediakan data tepat waktu di
serangkaian indikator makroekonomi dan rumah tangga, untuk membantu Pemerintah
Indonesia memilih dan mengarahkan respons kebijakan mereka. Sebuah komponen
penting dari CMR adalah survei rumah tangga kuartalan tiga putaran baru yang
akan mencakup indikator penting yang biasanya tidak dimonitor di Indonesia,
yang dilakukan secara nasional dan di tingkat kabupaten.
Selain
itu, Tim Kemiskinan akan melakukan analisis yang lebih mendalam mengenai dampak
GFC bersamaan dengan semakin banyaknya data yang lebih terperinci akan tersedia
di awal 2010, dengan berfokus pada dampak kemiskinan, tenaga kerja dan migrasi.
Diharapkan bahwa upaya saat ini atas GFC dapat memberi kontribusi kepada sistem
pemantauan dan tanggapan terhadap potensi kerentanan dan guncangan biasa untuk
Indonesia.
Kelompok
Perlindungan Sosial dari Tim Kemiskinan, sedang mengerjakan tinjauan besar atas
pengeluaran, efisiensi, dan kecukupan dalam sektor bantuan sosial di Indonesia.
Beberapa studi tingkat program mandiri dimasukkan ke dalam proyek yang lebih
besar ini. Hal yang terpenting dari tinjauan kinerja ini dan dampak analisis
atas program Pemerintah, seperti Jamkesmas (asuransi kesehatan tanpa kontribusi
bagi masyarakat miskin), PKH (bantuan tunai bersyarat), dan BLT (bantuan tunai
darurat tanpa syarat). Analisis dampak akan memanfaatkan lingkungan Indonesia
yang kaya data untuk merangkum efek partisipasi dalam program-program ini pada
pemanfaatan perawatan kesehatan dan layanan pendidikan (untuk Jamkesmas dan
PKH), konsumsi, pengeluaran, dan status kemiskinan (untuk BLT dan PKH), dan
profil konsumsi (BLT).
2.4.4
Memerangi kemiskinan dengan membantu
Indonesia menerjemahkan pertumbuhan menjadi pekerjaan.
Tim
Kemiskinan Bank Dunia menyediakan analisis pasar tenaga kerja di Indonesia
dalam rangka mendukung reformasi dan program yang akan memberikan kesempatan
yang lebih baik kepada masyarakat miskin untuk mencari pekerjaan yang baik.
Saat ini perdebatan mengenai kebijakan dan program pasar tenaga kerja sering
tidak didasarkan pada bukti empiris. Untuk mendukung dialog yang produktif
antara pemerintah, pekerja dan pengusaha, Tim Kemiskinan menyiapkan laporan
menyeluruh mengenai pasar tenaga kerja di Indonesia.
2.5 Kemiskinan dan Kesejahteraan
Kesejahteraan dalam
konsep kemiskinan biasanya dibedakan menjadi dua pendekatan utama, yaitu
pendekatan welfarist dan nonwelfarist (Ravallion,1994). Pendekatan walfarist
menitikberatkan pada perbandingan kesejahteraan ekonomi, yang juga disebut
sebagai standar hidup atau pendapatan.
Dasar dari pendekatan
welfarist terhadap kemiskinan adalah adanya pernyataan bahwa penilaian terhadap
kesejahteraan seseorang harus konsisten dengan urutan preferensi yang
dinyatakan oleh orang tersebut. Di sinilah letak permasalahannya, bahwa dalam
pendekatan welfarist murni, mengukur tingkat utilitas (kepuasan) seseorang itu
sangat sulit, karena preferensi antar individu itu sangat heterogen, tergantung
dari banyak hal, seperti karakteristik individu, kebutuhan dan kemampuan
menikmati, komposisi rumahtangga, dan tingkat harga.
Misalnya, seseorang
dapat dikatakan miskin karena standar utilitasnya yang tinggi dan sulit untuk
dicapai meskipun ia memiliki pendapatan yang tinggi, sementara orang lain dapat
dikatakan tidak miskin karena utilitasnya yang rendah dan dengan mudah dapat ia
capai meskipun tingkat pendapatannya rendah. Dengan kata lain, orang yang
pertama tidak miskin secara materi namun merasa tidak puas, sedangkan orang
kedua miskin secara materi tetapi merasa cukup dan puas. Kondisi ini seperti
apa yang disebutkan Sen (1983): mengapa harus si kaya yang suka mengeluh
dinilai lebih miskin daripada si miskin yang mudah merasa puas?
Untuk penyederhanaan,
meskipun tidak sempurna, pendekatan welfarist menggunakan tingkat pendapatan
dan konsumsi dalam pengukur kemiskinan. Dengan kata lain, pendekatan ini
mencoba memetakan konsep kebutuhan yang multidimesi menjadi satu dimensi.
Pendekatan nonwelfarist
memiliki dua pendekatan utama yaitu pendekatan kebutuhan atau disebut juga
dengan functionings approach atau dimensions approach dan pendekatan kemampuan
(capabilities). Pendekatan functionings yang dimaksud menitikberatkan pada
capaian beberapa aspek mutidimensi dasar, seperti pemenuhan gizi, kesehatan,
keamanan, harapan hidup dan lainnya.
Pendekatan functionings
berhubungan erat dengan pendekatan kebutuhan dasar meskipun keduanya tidak sama
persis. Kebutuhan dasar dapat difahami sebagai input fisik yang dibutuhkan
seseorang untuk mencapai berbagai dimensi yang diperlukan. Streeten et al,
(1981) menyatakan bahwa kebutuhan dasar dapat ditafsirkan dalam hal jumlah
minimum tertentu dari hal-hal seperti makanan, tempat tinggal, air dan sanitasi
yang diperlukan untuk mencegah sakit, kekurangan gizi dan sejenisnya.
Pendekatan kemampuan
menitikberatkan pada “kemampuan” seseorang untuk berfungsi dengan baik di
masyarakat. Seseorang bisa jadi mampu untuk memiliki mobil, rumah yang bagus,
aktif di masyarakat dan lainnya meskipun ia tidak melakukannya. Jadi, sekali
lagi, bahwa pendekatan ini menitikberatkan pada kemampuan seseorang untuk
memperoleh berbagai dimensi yang ada, bukan pada hasil yang dicapai dari dimensi
tersebut. Dengan kata lain, seseorang tidak akan dikategorikan miskin bila ia
memilih untuk tidak memiliki atau mencapai beberapa dimensi yang telah
ditetapkan, asalkan ia mampu bila ia menginginkan atau memilihnya.
Ada kebebasan memilih
dalam konsep ini, sesuai keinginan (preferensi) individu. Andai ia memilih
sesuatu yang tidak ia pilih, ia juga akan mampu mencapainya. Sebagai contoh,
andaikan hanya terdapat dua fungsi atau dimensi yaitu x dan y dan dua orang
individu A dan B. Menurut positionings approach bahwa seseorang dikatakan
miskin bila ia tidak meiliki x dan y. Namun menurut capabilities approach,
seseorang dikatakan miskin bila ia tidak mampu untuk memiliki keduanya. Andai
ia memilih untuk hanya memiliki x saja atau y saja, juga tidak dikatakan miskin
sepanjang ia mampu untuk memiliki keduanya jika ia mau. Karena memilih satu di
antara keduanya bukan disebabkan ketidak mampuan untuk memiliki keduanya sekaligus,
tetapi lehih disebabkan pada preferensinya.
2.6 Dilema Distribusi
Pendapatan di Indonesia
Pembagian atau distribusi pendapatan di Indonesia kian
timpang. Hal tersebut tampak dari makin menngkatnya Indeks Gini Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Indeks Gini mengukur distribusi pendapatan suatu negara.
Besarnya Indeks Gini antara 0 (nol) sampai 1 (satu). Indeks Gini sama dengan 0
(nol) menunjukkan bahwa distribusi pendapatan merata sempurna, sementara Indeks
Gini sama dengan 1(satu) menunjukkan distribusi pendapatan sama sekali tidak
merata. Berdasarkan data, Indeks Gini Indonesia terus meningkat dari tahun ke
tahun. Jika pada tahun 2005 besarnya Indeks Gini adalah 0,32, maka pada tahun
2008 meningkat menjadi 0,37, dan kembali meningkat menjadi 0,41 pada tahun
2011.
Ada beberapa sebab mengapa ketimpangan distribusi pendapatan
di Indonesia kian parah. Pertama, ketimpangan dalam distribusi asset.
Ketimpangan tersebut terlihat sangat parah terutama di sektor pertanian.
Berdasarkan data dari sensus pertanian, 57,8 persen petani hanya memiliki lahan
rata-rata 0,018 Ha, 38 persen tidak memiliki lahan, dan hanya 4,2 persen yang
memiliki lahan 0,5 Ha atau lebih. Lahan yang sempit tentu tidak mencukupi bagi
petani untuk memperoleh tingkat pendapatan yang layak. Untuk sektor yang lain,
bisa terlihat dengan jelas bagaimana perusahaan atau pengusaha sedang dan besar
dengan mudah mendapatkan kredit dengan agunan hanya nama baik, sementara Usaha
Menengah, Koperasi, dan Mikro (UMKM) setengah mati untuk mendapatkan kredit.
Kedua, masih besarnya pekerja di sektor informal dengan
tingkat pendapatan yang rendah dan tiadanya jaminan kepastian usaha
di masa depan. Berdasarkan data, jumlah pekerja di sektor informal saat ini di
Indonesia masih sekitar 62,7 persen dari total pekerja di Indonesia. Tingginya
pekerja di sektor informal disebabkan makin padat modalnya teknologi produksi
yang digunakan oleh para pengusaha. Hal tersebut terlihat dari makin kecilnya
kesempatan kerja yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika
dahulu setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap 400.000 pekerja baru, kini
pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya menyerap 200.000 orang tenaga kerja baru.
Hal tersebut terlihat jelas misalnya di Industri rokok dimana rata-rata pabrik
rokok sekarang hanya mempertahankan para pekerjha lama yang rata-rata sudah
lanjut usia. Sementara untuk proses produksecara bertahap akan digantikan oleh
mesin. Sebab lain lagi adalah justru tumbuhnya sektor-sektor jasa
(yang sering disebut non-tradable) seperti perdagangan dan jasa keunagan (bank
dan lembaga keuangan lain) yang menyerap sedikit tenaga kerja melebihi
pertumbuhan sektor produksi seperti manufaktur dan pertanian. Kondisi ini
diperparah dengan masih berlakunya sistem alih daya (out sourcing) dalam
perekrutan tenaga kerja dimana pengusaha bisa sewaktu-waktu memecat pekerja.
2.6.1
Dampak Kebijakan pada Distribusi Pendapatan
Sebab ketiga dari makin memburuknya distribusi pendapatan di
Indonesia adalah akibat kesalahan kebijakan pemerintah. Salah satu contoh
kebijakan pemerintah yang memperburuk distribusi pendapatan adalah pemberian
subsidi BBM dan listrik. Kepala Badab Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan,
Bambang Brojonegoro, mengatakan bahwa untuk APBNP 2012 dibutuhkan
tambahan untuk subsidi BBM sebesar 79,4 triliun rupiah. Tambahan itu diperlukan
karena dalam APBNP subsidi BBM hanya dianggarkan Rp 137,4 triliun tetapi hingga
akhir tahun 2012 diperkirakan subsidi membengkak hingga Rp 216,8 triliun.
Demikian juga subsidi listrik, menurut Bambang, dibutuhkan tambahan anggaran
sebesar Rp 103,5 triliun. Jadi tambahan subsidi BBM plus listrik untuk APBNP
2012 sebesar Rp 305,9 triliun. (SM, 6/10/2012). Padahal subsidi BBM
dan listrik yang kian besar itu sebagian besar dinikmati oleh golongan menengah
ke atas.
Kebijakan subsidi lain yang kurang mengena pada sasaran adalah
subsidi pupuk. Studi yang dilakukan oleh Osario, Abriningrum, Armas, dan Fidaus
(2011) menunjukkan bahwa 65 persen petani termiskin hanya menerima subsidi
pupuk sebesar 3 persen dari total subsidi pupuk yang diberikan pemerintah.
Sedangkan 5 persen petani terkaya menerima 90 persen subsidi pupuk. Hal
tersebut ditengarai disebabkan oleh akses petani kaya kepada oknum pemerintah
dan distributor pupuk yang lebih besar dibanding petani miskin dan juga modal
yang besar dari petani kaya memungkinkan mereka menumpuk pupuk dalam jumlah
besar di gudangnya.
Ketidaktepatan sasaran pemberian subsidi BBM, Listrik, dan
pupuk mempertimpang distribusi pendapatan lewat dua jalur. Jalur pertama,
memperkuat daya ekonomi (daya usaha dan pendapatan) golongan kaya karena
pengeluaran mereka bisa ditekan lewat subsidi yang mereka nikmati. Dan jalur
kedua, lewat pengeluaran dalam APBN yang sebenarnya bisa untuk program
pengentasan kemiskinan atau program lain yang pro rakyat miskin tetapi salah
alokasi untuk subsidi bagi golongan yang seharusnya tidak menerima.
2.6.2
Solusi Perbaikan Sistem Internal Pendistribusian
Lalu bagaimana memperbaiki distribusi pendapatan Indonesia
yang kian timpang? Pertama, harus ada kebijakan untuk meredistribusi
asset agar golongan tidak mampu bisa memperoleh asset sebagai modalnya untuk berusaha.
Redistribusi lahan yang merupakan asset utama di sektor pertanian sebenarnya
sudah ada undang-undangnya yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tinggal
bagaimana pemerintah mulai berani menerapkannya. Cara lain adalah dengan
membentuk pertanian kolektif seperti di RRC dimana lahan-lahan pertanian yang
sempit dijadikan satu (dikonsolidasikan) lalu dikerjakan secara bersama dan
hasilnya dibagi bersama. Pada sektor yang lain, apa yang sudah dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan membentuk Badan asuransi Kredit bagi UMKM
bisa dicontoh pemerintah daerah yang lain. Dengan adanya badan tersebut maka
akan meningkatkan akses UMKM terhadap kredit usaha yang diberikan oleh bank.
Kedua, meminimalkan bertambahnya pekerja di sektor informal.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan mendorong pertumbuhan sektor produksi
(pertanian dan industri) sehingga bisa menyerap lebih banyak tenaga
kerja. Untuk sektor pertanian misalnya dengan mendorong petani beralih ke
tanaman yang nilai ekonomisnya lebih tinggi misalnya ke tanaman hortikultura.
Pembatasan atau penghapusan sistem alihdaya (outsourcing) bisa pula
dipertimbangkan agar tidak mudah terjadi PHK yang kemudian mendorong orang
bekerja di sektor informal.
Ketiga, penghapusan subsidi BBM dan listrik dan diganti dengan
program lain yang lebih tepat sasaran bagi rakyat miskin perlu dilakukan.
Pemerintah harus berani melakukan hal ini meskipun ini langkah yang secara
politik tidak populer.
2.7
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masalah kemiskinan di Indonesia juga ditandai oleh rendahnya
mutu kehidupan masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,962, dimana diantara beberapa
negara ASEAN masih lebih rendah dari Malaysia dan Thailand. Sementara itu, Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,178 masih lebih
tinggi dari Philipina dan Thailand. Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia
masih relatif lebih besar dibanding negara ASEAN lainnya (Herawati, 2007).
Meskipun proporsi penduduk miskin secara rasional mengalami
penurunan, namun masih terjadi kesenjangan antardaerah dalam pembangunan
manusia (IPM) dan pemenuhan terhadap beberapa hak dasar (IKM).Tantangan lainnya
adalah kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di pedesaan
relatif lebih tinggi di perkotaan. Data Susenas (National Socio Economic
Survey) 2004 menunjukkan bahwa sekitar 69,0 persen penduduk di pedesaan
termasuk miskin, dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian(Herawati,
2007).
Selain itu, tantangan lainnya adalah kemiskinan yang dialami
oleh kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran
perempuan, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih
rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (GDI) dan angka Indeks Pemberdayaan
Gender (GEM) (Herawati, 2007). Kondisi lain
adalah otonomi daerah yang berdampak pada meningkatnya peran pemerintah daerah
dalam penanggulangan kemiskinan, sehingga peran pemerintah sangat penting untuk
keberhasilan penaggulangan kemiskinan secara nasional terutama dalam hal
mendekatkan pelayanan dasar bagi masyarakat.
Ditinjaudarisumberpenyebabnyakemiskinandibagimenjadidua,
yaitukemiskinankulturaldankemiskinan structural.Kemiskinan cultural
adalahkemiskinan yang disebabkanolehsikap, gayahidup, nilai, orientasi social
budayaseseorangataumasyarakat yang tidaksejalandenganetoskemajuan (masyarakat
modern). Sikapmalas, tidakmemilikikebutuhanuntukberprestasi (need for
achievement), fatalis, berorientasikemasalalu, tidakmemilikijiwawirausahaadalahkarakteristik
yang umumnyadianggapsebagai cirri-cirikemiskinankultural.
Kemiskinan structural adalahkemiskinan yang
disebabkankarenastrukturmasyarakat yang tidakseimbang,
baikdalampemilikanataupunpengelolaansumberdaya, ketidakmerataankesempatanberusaha,
ketidaksamaaninformasiatauaksesterhadapsumberdaya,
ataupunkarenaadanyakebijakanpemerintah yang
tidakberpihakpadamereka.Kemiskinanstrukturaldapat pula
disebabkankarenakondisigeografis yang terisolir.
Ciri-cirikelompok (penduduk) miskinyaitu: 1) rata-rata
tidakmempunyaifaktorproduksisendirisepertitanah, modal, peralatankerja,
danketerampilan, 2) mempunyaitingkatpendidikan yang rendah, 3)
kebanyakanbekerjaatauberusahasendiridanbersifatusahakecil (sector informal),
setengahmenganggur (tidakbekerja), 4) kebanyakanberada di
pedesaanataudaerahtertentuperkotaan (slum area), dan 5)
kurangnyakesempatanuntukmemperoleh (dalamjumlah yang cukup):
bahankebutuhanpokok, pakaian, perumahan, fasilitaskesehatan, air minum,
pendidikan, angkutan, fasilitaskomunikasi, dankesejahteraan social lainnya
(Salim, 1980).
Strategiuntukmengatasikemiskinantidaklepasdarustrategipembangunan
yang dianutsuatu Negara.Program-program yang
telahdilakukanuntukmemerangikemiskinanseringkalitidakmemberikanhasil yang
menggembirakankarenaadanyaperangkapkemiskinan (poverty trap) yang
tidakberujungpangkal.
Gambar 3.1 sikluspenyebabkemiskinan
Keberhasilan
pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan
penduduk secara agregat atau per capital, tetapi juga (justru lebih penting
lagi) di lihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap semua
anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di Indonesia
sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, yakni
sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di tanah
air yang manikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%)
hanya menikmati 10& dari pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati
oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami
perbaikan yang berarti. Jadi dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia
akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara
kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil
Pengaruh antara ketimpangan distribusi
pendapatan terhadap kemiskinan dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah
penduduk. Pertambahan jumlah penduduk cenderung berdampak negatif terhadap
penduduk miskin, terutama bagi mereka yang sangat miskin. Sebagian besar
keluarga miskin memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak sehingga kondisi
perekonomian mereka berada di garis kemiskinan semakin memburuk seiring dengan
memburuknya ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar