Minggu, 29 Maret 2015

Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan





Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpandapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan merupakan dua masalah besar yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang, tidak terkecuali Indonesia.

Pada awal periode orde baru hingga akhir dekade 1970-an strategi pembangunan ekonomi lebih terfokus pada bagaimana mencapai suatu laju pertumbuhan yang tinggi dalam suatu periode yang sangat singkat. Pada akhir dekade itu strategi pembangunan diubah , tidak lagi hanya pertumbuhan tetapi juga untuk kesejahteraan rakyat. Hingga menjelang krisis nilai tukar, program yang dilakukan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan perbedaan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya, seperti Inpres Desa tertinggal (IDT).
Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan berhak menikmati hasil-hasilnya
Persoalan kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrument tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup orang miskin. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki posisi mereka.

1.1  Latar Belakang
Indonesia telah mengalami kemajuan dalam mengurangi kemiskinan tapi banyak orang tetap miskin dan rentan. Berlanjutnya pertumbuhan ekonomi telah membantu banyak orang Indonesia keluar dari kemiskinan dengan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan pengeluaran publik untuk kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Sejak pemilu nasional tahun 2004, persentase masyarakat miskin telah turun dari 16,7 persen menjadi 14,15 persen (2009).
Meskipun ada keuntungan ini, 32,5 juta penduduk Indonesia saat ini hidup di bawah garis kemiskinan dan sekitar setengah dari seluruh rumah tangga tetap berada di sekitar garis kemiskinan nasional (Rp200.262/bulan). Kesenjangan antara masyarakat miskin dan tidak miskin juga semakin melebar. Koefisien Gini, ukuran ketidaksetaraan konsumsi, telah meningkat dari 31,7 pada tahun 1999 menjadi sekitar 35 pada tahun 2009. Kesenjangan regional juga tetap ada; kawasan timur tertinggal dari bagian-bagian lain Indonesia, terutama Jawa. Selain itu, 17,35 persen masyarakat pedesaan miskin, dibandingkan dengan 10,7 persen dari penduduk perkotaan, atau dengan kata lain, 70% dari orang miskin tinggal di daerah pedesaan.

1.2  Konsep dan Definisi Kemiskinan


Defenisi kemiskinan terbagi dua,
a.       Kemiskinan relative (yang mengaju pada garis kemiskinan) yaitu suatu ukuran mengenai kesenjangan didalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefisisikan didalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Dinegara-negara maju, kemiskinan relative diukur sebagai suatu proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata perkapita. Standar minimum disusun berdasarakan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relative miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relative sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relative cukup untuk untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relative tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
b.      Kemiskinan absolute (derajat kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Yaitu suatu ukuran tetap didalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk survive. Kemiskinan absolute ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seprti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. 
Kebutuhan minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.
Garis kemiskinan absolute sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu Negara dengan Negara lain hanya jika garis kemiskinan absolute yang sama digunakandi kedua Negara tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolute agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar Negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana menyalurkan sumber daya financial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu:
·         US $1 per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut;
·         US $2 per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolute.
c.       Kemiskinan Lainnya, Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai bersebab dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan.
Kemiskinan Cultural disebabkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indi
kator kemiskinan.
1.3  Pokok Permasalahan
Ada banyak permasalahan dalam pendistribusian pendapatan dan pelaksanaan program dalam rangka pengentasan masyarakat dari zona kemiskinan. Namun kali ini, kita hanya akan membahas beberapa titik – titik strategis yang berkaitan dalam materi di atas, diantaranya :
a.       Apakah kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam mengintervensi angka kemiskinan sekaligus pendistribusian pendapatan sudah tepat guna ?
b.      Apa saja langkah yang diambil pemerintah dalam usahanya meningkatkan taraf kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia ?
c.       Dari segi teoritis, apa strategi taktis yang cocok diterapkan pada masyarakat Indonesia agar menjadi masyarakat yang mapan dan tahan guncangan ekonomi sehingga menciptakan iklim perekonomian yang stabil ?

1.4  Tujuan
Tujuan dari pemaparan materi di atas adalah, kita diharapkan dapat :
a.       Mengetahui kebijakan pemerintah dalam mengintervensi angka kemiskinan sekaligus pendistribusian pendapatan sehingga dapat meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam pembangunan..
b.      Mengetahui dampak dari kebijakan pemerintah dalam usahanya meningkatkan taraf kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat bisa bersikap lebih profesional dalam menyambut pembangunan.
c.       Mengetahui langkah strategis untuk mencapai taraf kesejahteraan hidup layak yang berkesinambungan.

1.5  Landasan Teori
Definisi kemiskinan menurut beberapa ahli
a.       Menurut Sallatang (1986) kemiskinan adalah ketidakcukupan penerimaan pendapatan dan pemilikan kekayaan materi, tanpa mengabaikan standar atau ukuran-ukuran fisiologi, psikologi dan sosial.
b.      Menurut Esmara (1986) mengartikan kemiskinan ekonomi sebagai keterbatasan sumber-sumber ekonomi untuk mempertahankan kehidupan yang layak. Fenomena kemiskinan umumnya dikaitkan dengan kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
c.       Menurut Basri (1995) bahwa kemiskinan pada dasarnya mengacu pada keadaan serba kekurangan dalam pemenuhan sejumlah kebutuhan, seperti sandang, pangan, papan, pekerjaan, pendidikan, pengetahuan, dan lain sebagainya.
d.      Poli (1993) menggambarkan kemiskinan sebagai keadaan ketidakterjaminan pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, rendahnya kualitas perumahan dan aset-aset produktif, ketidakmampuan memelihara kesehatan yang baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya perilaku antisosial (anti-social behavior), kurangnya dukungan jaringan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, kurangnya infrastruktur dan keterpencilan, serta ketidakmampuan dan keterpisahan.
e.       Bappenas dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan juga mendefinisikan masalah kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin.
BAB II
PEMBAHASAN

Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masakini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.

2.1  Distribusi Pendapatan Nasional Di Indonesia


Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.
Distribusi pendapatan nasional menggambarkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi akan mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum.
Ketidakmerataan distribusi pendapatan merupakan salah satu permasalahana pembangunan sebab pertumbuhan ekonomi tidak banyak bermanfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila distribusi hasil pembangunan tidak merata. Terdapat 8 (delapan) penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan, diantaranya: pertumbuhan penduduk yang tinggi, inflasi, pembangunan daerah tidak merata, penggangguran tinggi, mobilitas sosial rendah, memburuknya nilai tukar produk NSB, dan hancurnya industri kerajinan rakyat.
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk.
Indikator ketimpangan distribusi pendapatan menurut Bank Dunia :
Distribusi Pendapatan
Tingkat Ketimpangan atau Kesenjangan
Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya <12% dari keseluruhan pengeluaran
Tinggi
Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya 12% sampai 17% dari keseluruhan pengeluaran
Sedang
Pengeluarannya >17% dari keseluruhan pengeluaran
Rendah

Persentase Pembagian Pendapatan Nasional di Antara 3 Lapisan Pendapatan
1999
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
40% pendapatan terendah
21,66
20,92
20,57
20,80
18,81
19,75
19,10
19,56
21,22*
18,05*
16,85*
40% pendapatan menengah
37,77
36,89
37,10
37,13
36,40
38,10
36,11
35,67
37,54*
36,48*
34,73*
20% pendapatan tertinggi
40,57
42,19
42,33
42,07
44,78
42,15
44,79
44,77
41,24*
45,47*
48,42*
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional , Modul Konsumsi 1999, 2002 dan 2005 (2003, 2004 dan 2006 hanya mencakup panel 10.000 rumahtangga, sedangkan 2007, 2008, 2009, dan 2010 mencakup panel 68.800 rumah tangga), Tahun 2011 merupakan data Susenas Triwulan I (Maret 2011) dengan sampel 75.000 rumah tangga
* Dihitung dengan menggunakan data individu bukan data kelompok pengeluaran seperti pada tahun sebelumnya.

2.2  Kemiskinan di Indonesia

Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang)
Persentase Penduduk Miskin
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
1970
n.a
n.a
  70,00
n.a
n.a
60,00
n.a
n.a
1976
10,00
  44,20
  54,20
38,80
40,40
40,10
4 522,00
2 849,00
1978
8,30
  38,90
  47,20
30,80
33,40
33,30
4 969,00
2 981,00
1980
9,50
  32,80
  42,30
29,00
28,40
28,60
6 831,00
4 449,00
1981
9,30
  31,30
  40,60
28,10
26,50
26,90
9 777,00
5 877,00
1984
9,30
  25,70
  35,00
23,10
21,20
21,60
13 731,00
7 746,00
1987
9,70
  20,30
  30,00
20,10
16,10
17,40
17 381,00
10 294,00
1990
9,40
  17,80
  27,20
16,80
14,30
15,10
20 614,00
13 295,00
1993
8,70
  17,20
  25,90
13,40
13,80
13,70
27 905,00
18 244,00
1996
7,20
  15,30
  22,50
9,70
12,30
11,30
38 246,00
27 413,00
1996
9,42
  24,59
  34,01
13,39
19,78
17,47
42 032,00
31 366,00
1998
17,60
  31,90
  49,50
21,92
25,72
24,20
96 959,00
72 780,00
1999
15,64
  32,33
  47,97
19,41
26,03
23,43
92 409,00
74 272,00
2000
12,31
  26,43
  38,74
14,60
22,38
19,14
91 632,00
73 648,00
2001
8,60
  29,27
  37,87
9,79
24,84
18,41
100 011,00
80 382,00
2002
13,32
  25,08
  38,39
14,46
21,10
18,20
130 499,00
96 512,00
2003
12,26
  25,08
  37,34
13,57
20,23
17,42
138 803,00
105 888,00
2004
11,37
  24,78
  36,15
12,13
20,11
16,66
143 455,00
108 725,00
2005
12,40
  22,70
  35,10
11,68
19,98
15,97
165 565,00
117 365,00
2006
14,49
  24,81
  39,30
13,47
21,81
17,75
174 290,00
130 584,00
2007
13,56
  23,61
  37,17
12,52
20,37
16,58
187 942,00
146 837,00
2008
12,77
  22,19
  34,96
11,65
18,93
15,42
204 895,99
161 830,79
2009
11,91
  20,62
  32,53
10,72
17,35
14,15
222 123,10
179 834,57
2010
11,10
  19,93
  31,02
9,87
16,56
13,33
232 989,00
192 353,83

Sumber :          bps indonesia, sosial, data tingkat kemiskinan, presentase kemiskinan, dan garis kemiskinan


Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.
Masalah kemiskinan adalah masalah yang kompleks dan global. Di indonesia masalah kemiskinan seperti tak kunjung usai. Masih banyak kita dapati para pengemis dan gelandangan berkeliaran tidak hanya di pedesaan bahkan di kota-kota besar seperti jakarta pun pemandangan seperti ini menjadi tontonan setiap hari.
Dan dari data di atas dapat dlihat bahwa perkembangan kemiskinan di Indonesia sejak Maret 2011 hingga Maret 2012 cenderung menurun. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2012 sebesar 29,13 juta orang (11,96%) yang berkurang 0,89 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang berjumlah 30,02 juta orang (12,49%). Berdasarkan daerah tempat tinggal, selama periode Maret 2011-Maret 2012, penduduk miskin di daerah perkotaan dan pedesaan masing-masing turun 399,5 ribu orang (0,45%) dan 487 ribu orang (0,60%).

2.3  Strategi Pemerintah dalam Menekan Angka Kemiskinan
Dalam kurun waktu 2005-2008 program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan melalui sinkronisasi berbagai kebijakan lintas sektor yang diarahkan untuk penciptaan kesempatan usaha bagi masyarakat miskin, pemberdayaan masyarakat miskin, peningkatan kemampuan masyarakat miskin, serta pemberian perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Sejak tahun 2009, program penanggulangan kemiskinan diarahkan pada 4 fokus, yaitu:
i.           Pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan sosial dan keberpihakan terhadap rakyat miskin.
ii.         Perluasan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan serta keluarga berencana.
iii.       Penyempurnaan dan perluasan cakupan program pembangunan berbasis masyarakat.
iv.       Peningkatan usaha rakyat. 
Pembangunan dan penyempurnaan sistem perlindungan sosial dan keberpihakan terhadap rakyat miskin dilaksanakan melalui kegiatan:
a.       Pemberian Bantuan Langsung Tunai/BLT bagi 18,5 juta rumah tangga miskin
b.      Pelaksanaan Program Harapan Keluarga/PKH bagi 720.000 rumah tangga sangat miskin di 13 provinsi;
c.       Subsidi pangan untuk masyarakat miskin dengan sasaran 18,5 juta rumah tangga sasaran
d.      peningkatan akses dan kualitas pendidikan dalam bentuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam rangka mendukung Wajib belajar 9 tahun, serta pemberian beasiswa bagi mahasiswa miskin
e.       Peningkatan kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah dengan membantu masyarakat miskin dalam memperoleh sertifikat hak atas tanah
f.       Peningkatan akses terhadap air bersih dengan membangun prasarana air minum perpipaan di perkotaan dan perdesaan.
Perluasan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan serta keluarga berencana dilaksanakan melalui kegiatan
g.      Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap kesehatan melalui program Jaminan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dalam bentuk asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin bagi 76,4 juta penduduk miskin.
h.      Peningkatan Akses Terhadap Pelayanan Keluarga Berencana.
Penyempurnaan dan perluasan cakupan program pembangunan berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang terdiri atas kegiatan-kegiatan
.
kelanjutan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) untuk daerah perdesaan, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) untuk daerah perkotaan, Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi wilayah (PISEW) dan Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), kegiatan pengembangan usaha agribisnis pertanian (PUAP), serta program pemberdayaan bidang kelautan dan perikanan.
Sementara itu, peningkatan usaha rakyat dilaksanakan melaluipemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR);  dan penguatan modal di sektor pertanian melalui dana penguatan modal-Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan di 27 provinsi; sertapenguatan akses modal di sektor kelautan dan perikanan dalam bentuk penguatan akses modal kerja untuk masyarakat pesisir melalui penyediaan jasa lembaga keuangan di sentra-sentra kegiatan nelayan.
Berbagai kegiatan tersebut menghasilkan angka kemiskinan yang semakin membaik. Dalam 3 tahun terakhir jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, dari sebesar 37,17 juta (16,58%) pada tahun 2007, menjadi 34,96 juta (15,42%) pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 angkanya menjadi 32,53 juta (14,15%).

2.4  Program Berkelanjutan dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan dan Pemerataan Distribusi Pendapatan
Bersamaan dengan semakin banyaknya orang Indonesia yang keluar dari kemiskinan, diperlukan program asuransi sosial generasi baru. Komponen sistem asuransi sosial telah ada, termasuk Askes, program asuransi kesehatan, dan Jamsostek, program pensiun untuk pekerja sektor formal. Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) (No. 40/2004) menguraikan aspirasi nasional untuk menyediakan cakupan universal, dan peta jalan saat ini sedang dikembangkan untuk membangun sistem nasional yang koheren dan layak, serta menilai efisiensi dan efektivitas program, tingkat manfaat yang diberikan, ruang lingkup liputan, serta keterjangkauan dan kesinambungan fiskal. Tanpa persiapan yang memadai, Indonesia dapat menemukan dirinya dalam posisi yang sama seperti negara-negara berpenghasilan menengah lain yang menawarkan manfaat asuransi sosial yang murah hati, tapi kini berjuang karena kewajiban yang besar.
2.4.1        Upaya penargetan berkelanjutan Kelompok Kemiskinan termasuk sejumlah proyek besar
Program uji coba dilaksanakan pada tahun 2008 bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memeriksa efektivitas berbagai Proxy-Means Testing (PMT) dan pendekatan berbasis masyarakat untuk penargetan rumah tangga miskin dan membutuhkan. Uji coba lanjutan yang memeriksa gabungan komunitas PMT yang sedang diperiksa, bersama dengan studi uji coba tentang metode penargetan diri. Dengan menggunakan berbagai uji coba, pengalaman internasional dan analisis baru, sebuah studi besar penargetan di Indonesia sedang dilakukan, yang akan meninjau akurasi sekumpulan lengkap metode, memetakannya ke kebutuhan penargetan yang berbeda, menilai kapasitas, hambatan fiskal, kelembagaan dan politik terhadap penerapan, dan mengevaluasi efektivitas sosialisasi saat ini dan dukungan publik dan politik dari penargetan program bantuan sosial besar. Selain itu, hal ini akan mengembangkan strategi yang direkomendasikan ke arah pembentukan sistem penargetan nasional yang terpadu. Akhirnya, serangkaian alat penargetan direncanakan untuk digunakan di tingkat pemerintah pusat dan daerah untuk membantu dalam pelaksanaan pendekatan penargetan tertentu dan analisis efektivitasnya. 
2.4.2        Pemantauan dan Analisis Krisis Kelompok Kemiskinan
Dengan dukungan keuangan dari Australia Overseas Aid Program (AusAID) Pemerintah Australia, membantu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam membangun Sistem Pemantauan dan Tanggapan Krisis (CMR) untuk lebih memahami bagaimana Krisis Keuangan Global (GFC ) saat ini menular ke Indonesia, yang diadopsi mekanisme bertahan rumah tangga, dan merupakan hasil sosial ekonomi.
CMR akan menggunakan data baru dan yang ada untuk menyediakan data tepat waktu di serangkaian indikator makroekonomi dan rumah tangga, untuk membantu Pemerintah Indonesia memilih dan mengarahkan respons kebijakan mereka. Sebuah komponen penting dari CMR adalah survei rumah tangga kuartalan tiga putaran baru yang akan mencakup indikator penting yang biasanya tidak dimonitor di Indonesia, yang dilakukan secara nasional dan di tingkat kabupaten.
Selain itu, Tim Kemiskinan akan melakukan analisis yang lebih mendalam mengenai dampak GFC bersamaan dengan semakin banyaknya data yang lebih terperinci akan tersedia di awal 2010, dengan berfokus pada dampak kemiskinan, tenaga kerja dan migrasi. Diharapkan bahwa upaya saat ini atas GFC dapat memberi kontribusi kepada sistem pemantauan dan tanggapan terhadap potensi kerentanan dan guncangan biasa untuk Indonesia.
2.4.3        Perlindungan Sosial
Kelompok Perlindungan Sosial dari Tim Kemiskinan, sedang mengerjakan tinjauan besar atas pengeluaran, efisiensi, dan kecukupan dalam sektor bantuan sosial di Indonesia. Beberapa studi tingkat program mandiri dimasukkan ke dalam proyek yang lebih besar ini. Hal yang terpenting dari tinjauan kinerja ini dan dampak analisis atas program Pemerintah, seperti Jamkesmas (asuransi kesehatan tanpa kontribusi bagi masyarakat miskin), PKH (bantuan tunai bersyarat), dan BLT (bantuan tunai darurat tanpa syarat). Analisis dampak akan memanfaatkan lingkungan Indonesia yang kaya data untuk merangkum efek partisipasi dalam program-program ini pada pemanfaatan perawatan kesehatan dan layanan pendidikan (untuk Jamkesmas dan PKH), konsumsi, pengeluaran, dan status kemiskinan (untuk BLT dan PKH), dan profil konsumsi (BLT).
2.4.4        Memerangi kemiskinan dengan membantu Indonesia menerjemahkan pertumbuhan menjadi pekerjaan.
Tim Kemiskinan Bank Dunia menyediakan analisis pasar tenaga kerja di Indonesia dalam rangka mendukung reformasi dan program yang akan memberikan kesempatan yang lebih baik kepada masyarakat miskin untuk mencari pekerjaan yang baik. Saat ini perdebatan mengenai kebijakan dan program pasar tenaga kerja sering tidak didasarkan pada bukti empiris. Untuk mendukung dialog yang produktif antara pemerintah, pekerja dan pengusaha, Tim Kemiskinan menyiapkan laporan menyeluruh mengenai pasar tenaga kerja di Indonesia.

2.5  Kemiskinan dan Kesejahteraan
Kesejahteraan dalam konsep kemiskinan biasanya dibedakan menjadi dua pendekatan utama, yaitu pendekatan welfarist dan nonwelfarist (Ravallion,1994). Pendekatan walfarist menitikberatkan pada perbandingan kesejahteraan ekonomi, yang juga disebut sebagai standar hidup atau pendapatan.
Dasar dari pendekatan welfarist terhadap kemiskinan adalah adanya pernyataan bahwa penilaian terhadap kesejahteraan seseorang harus konsisten dengan urutan preferensi yang dinyatakan oleh orang tersebut. Di sinilah letak permasalahannya, bahwa dalam pendekatan welfarist murni, mengukur tingkat utilitas (kepuasan) seseorang itu sangat sulit, karena preferensi antar individu itu sangat heterogen, tergantung dari banyak hal, seperti karakteristik individu, kebutuhan dan kemampuan menikmati, komposisi rumahtangga, dan tingkat harga.
Misalnya, seseorang dapat dikatakan miskin karena standar utilitasnya yang tinggi dan sulit untuk dicapai meskipun ia memiliki pendapatan yang tinggi, sementara orang lain dapat dikatakan tidak miskin karena utilitasnya yang rendah dan dengan mudah dapat ia capai meskipun tingkat pendapatannya rendah. Dengan kata lain, orang yang pertama tidak miskin secara materi namun merasa tidak puas, sedangkan orang kedua miskin secara materi tetapi merasa cukup dan puas. Kondisi ini seperti apa yang disebutkan Sen (1983): mengapa harus si kaya yang suka mengeluh dinilai lebih miskin daripada si miskin yang mudah merasa puas?
Untuk penyederhanaan, meskipun tidak sempurna, pendekatan welfarist menggunakan tingkat pendapatan dan konsumsi dalam pengukur kemiskinan. Dengan kata lain, pendekatan ini mencoba memetakan konsep kebutuhan yang multidimesi menjadi satu dimensi.
Pendekatan nonwelfarist memiliki dua pendekatan utama yaitu pendekatan kebutuhan atau disebut juga dengan functionings approach atau dimensions approach dan pendekatan kemampuan (capabilities). Pendekatan functionings yang dimaksud menitikberatkan pada capaian beberapa aspek mutidimensi dasar, seperti pemenuhan gizi, kesehatan, keamanan, harapan hidup dan lainnya.
Pendekatan functionings berhubungan erat dengan pendekatan kebutuhan dasar meskipun keduanya tidak sama persis. Kebutuhan dasar dapat difahami sebagai input fisik yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai berbagai dimensi yang diperlukan. Streeten et al, (1981) menyatakan bahwa kebutuhan dasar dapat ditafsirkan dalam hal jumlah minimum tertentu dari hal-hal seperti makanan, tempat tinggal, air dan sanitasi yang diperlukan untuk mencegah sakit, kekurangan gizi dan sejenisnya.
Pendekatan kemampuan menitikberatkan pada “kemampuan” seseorang untuk berfungsi dengan baik di masyarakat. Seseorang bisa jadi mampu untuk memiliki mobil, rumah yang bagus, aktif di masyarakat dan lainnya meskipun ia tidak melakukannya. Jadi, sekali lagi, bahwa pendekatan ini menitikberatkan pada kemampuan seseorang untuk memperoleh berbagai dimensi yang ada, bukan pada hasil yang dicapai dari dimensi tersebut. Dengan kata lain, seseorang tidak akan dikategorikan miskin bila ia memilih untuk tidak memiliki atau mencapai beberapa dimensi yang telah ditetapkan, asalkan ia mampu bila ia menginginkan atau memilihnya.
Ada kebebasan memilih dalam konsep ini, sesuai keinginan (preferensi) individu. Andai ia memilih sesuatu yang tidak ia pilih, ia juga akan mampu mencapainya. Sebagai contoh, andaikan hanya terdapat dua fungsi atau dimensi yaitu x dan y dan dua orang individu A dan B. Menurut positionings approach bahwa seseorang dikatakan miskin bila ia tidak meiliki x dan y. Namun menurut capabilities approach, seseorang dikatakan miskin bila ia tidak mampu untuk memiliki keduanya. Andai ia memilih untuk hanya memiliki x saja atau y saja, juga tidak dikatakan miskin sepanjang ia mampu untuk memiliki keduanya jika ia mau. Karena memilih satu di antara keduanya bukan disebabkan ketidak mampuan untuk memiliki keduanya sekaligus, tetapi lehih disebabkan pada preferensinya.
2.6  Dilema Distribusi Pendapatan di Indonesia
Pembagian atau distribusi pendapatan di Indonesia kian timpang. Hal tersebut tampak dari makin menngkatnya Indeks Gini Indonesia. Sebagaimana diketahui, Indeks Gini mengukur distribusi pendapatan suatu negara. Besarnya Indeks Gini antara 0 (nol) sampai 1 (satu). Indeks Gini sama dengan 0 (nol) menunjukkan bahwa distribusi pendapatan merata sempurna, sementara Indeks Gini sama dengan 1(satu) menunjukkan distribusi pendapatan sama sekali tidak merata. Berdasarkan data, Indeks Gini Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2005 besarnya Indeks Gini adalah 0,32, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi 0,37, dan kembali meningkat menjadi 0,41 pada tahun 2011.
Ada beberapa sebab mengapa ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia kian parah. Pertama, ketimpangan dalam distribusi asset. Ketimpangan tersebut terlihat sangat parah terutama di sektor pertanian. Berdasarkan data dari sensus pertanian, 57,8 persen petani hanya memiliki lahan rata-rata 0,018 Ha, 38 persen tidak memiliki lahan, dan hanya 4,2 persen yang memiliki lahan 0,5 Ha atau lebih. Lahan yang sempit tentu tidak mencukupi bagi petani untuk memperoleh tingkat pendapatan yang layak. Untuk sektor yang lain, bisa terlihat dengan jelas bagaimana perusahaan atau pengusaha sedang dan besar dengan mudah mendapatkan kredit dengan agunan hanya nama baik, sementara Usaha Menengah, Koperasi, dan Mikro (UMKM) setengah mati untuk mendapatkan kredit.
Kedua, masih besarnya pekerja di sektor informal dengan tingkat pendapatan yang rendah dan tiadanya  jaminan kepastian usaha di masa depan. Berdasarkan data, jumlah pekerja di sektor informal saat ini di Indonesia masih sekitar 62,7 persen dari total pekerja di Indonesia. Tingginya pekerja di sektor informal disebabkan makin padat modalnya teknologi produksi yang digunakan oleh para pengusaha. Hal tersebut terlihat dari makin kecilnya kesempatan kerja yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika dahulu setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap 400.000 pekerja baru, kini pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya menyerap 200.000 orang tenaga kerja baru. Hal tersebut terlihat jelas misalnya di Industri rokok dimana rata-rata pabrik rokok sekarang hanya mempertahankan para pekerjha lama yang rata-rata sudah lanjut usia. Sementara untuk proses produksecara bertahap akan digantikan oleh mesin.  Sebab lain lagi adalah justru tumbuhnya sektor-sektor jasa (yang sering disebut non-tradable) seperti perdagangan dan jasa keunagan (bank dan lembaga keuangan lain) yang menyerap sedikit tenaga kerja melebihi pertumbuhan sektor produksi seperti manufaktur dan pertanian. Kondisi ini diperparah dengan masih berlakunya sistem alih daya (out sourcing) dalam perekrutan tenaga kerja dimana pengusaha bisa sewaktu-waktu memecat pekerja.

2.6.1        Dampak Kebijakan pada Distribusi Pendapatan
Sebab ketiga dari makin memburuknya distribusi pendapatan di Indonesia adalah akibat kesalahan kebijakan pemerintah. Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang memperburuk distribusi pendapatan adalah pemberian subsidi BBM dan listrik. Kepala Badab Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan, Bambang Brojonegoro, mengatakan bahwa  untuk APBNP 2012 dibutuhkan tambahan untuk subsidi BBM sebesar 79,4 triliun rupiah. Tambahan itu diperlukan karena dalam APBNP subsidi BBM hanya dianggarkan Rp 137,4 triliun tetapi hingga akhir tahun 2012 diperkirakan subsidi membengkak hingga Rp 216,8 triliun. Demikian juga subsidi listrik, menurut Bambang, dibutuhkan tambahan anggaran sebesar Rp 103,5 triliun. Jadi tambahan subsidi BBM plus listrik untuk APBNP 2012 sebesar Rp 305,9 triliun. (SM, 6/10/2012).  Padahal subsidi BBM dan listrik yang kian besar itu sebagian besar dinikmati oleh golongan menengah ke atas.
Kebijakan subsidi lain yang kurang mengena pada sasaran adalah subsidi pupuk. Studi yang dilakukan oleh Osario, Abriningrum, Armas, dan Fidaus (2011) menunjukkan bahwa 65 persen petani termiskin hanya menerima subsidi pupuk sebesar 3 persen dari total subsidi pupuk yang diberikan pemerintah. Sedangkan 5 persen petani terkaya menerima 90 persen subsidi pupuk. Hal tersebut ditengarai disebabkan oleh akses petani kaya kepada oknum pemerintah dan distributor pupuk yang lebih besar dibanding petani miskin dan juga modal yang besar dari petani kaya memungkinkan mereka menumpuk pupuk dalam jumlah besar di gudangnya.
Ketidaktepatan sasaran pemberian subsidi BBM, Listrik, dan pupuk mempertimpang distribusi pendapatan lewat dua jalur. Jalur pertama, memperkuat daya ekonomi (daya usaha dan pendapatan) golongan kaya karena pengeluaran mereka bisa ditekan lewat subsidi yang mereka nikmati. Dan jalur kedua, lewat pengeluaran dalam APBN yang sebenarnya bisa untuk program pengentasan kemiskinan atau program lain yang pro rakyat miskin tetapi salah alokasi untuk subsidi bagi golongan yang seharusnya tidak menerima.



2.6.2        Solusi Perbaikan Sistem Internal Pendistribusian
Lalu bagaimana memperbaiki distribusi pendapatan Indonesia yang kian timpang? Pertama,  harus ada kebijakan untuk meredistribusi asset agar golongan tidak mampu bisa memperoleh asset sebagai modalnya untuk berusaha. Redistribusi lahan yang merupakan asset utama di sektor pertanian sebenarnya sudah ada undang-undangnya yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tinggal bagaimana pemerintah mulai berani menerapkannya. Cara lain adalah dengan membentuk pertanian kolektif seperti di RRC dimana lahan-lahan pertanian yang sempit dijadikan satu (dikonsolidasikan) lalu dikerjakan secara bersama dan hasilnya dibagi bersama. Pada sektor yang lain, apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan membentuk Badan asuransi Kredit bagi UMKM bisa dicontoh pemerintah daerah yang lain. Dengan adanya badan tersebut maka akan meningkatkan akses UMKM terhadap kredit usaha yang diberikan oleh bank.
Kedua, meminimalkan bertambahnya pekerja di sektor informal. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mendorong pertumbuhan sektor produksi (pertanian dan industri) sehingga  bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja. Untuk sektor pertanian misalnya dengan mendorong petani beralih ke tanaman yang nilai ekonomisnya lebih tinggi misalnya ke tanaman hortikultura. Pembatasan atau penghapusan sistem alihdaya (outsourcing) bisa pula dipertimbangkan agar tidak mudah terjadi PHK yang kemudian mendorong orang bekerja di sektor informal.
Ketiga, penghapusan subsidi BBM dan listrik dan diganti dengan program lain yang lebih tepat sasaran bagi rakyat miskin perlu dilakukan. Pemerintah harus berani melakukan hal ini meskipun ini langkah yang secara politik tidak populer.


2.7   
BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Masalah kemiskinan di Indonesia juga ditandai oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,962, dimana diantara beberapa negara ASEAN masih lebih rendah dari Malaysia dan Thailand. Sementara itu, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,178 masih lebih tinggi dari Philipina dan Thailand. Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding negara ASEAN lainnya (Herawati, 2007).
Meskipun proporsi penduduk miskin secara rasional mengalami penurunan, namun masih terjadi kesenjangan antardaerah dalam pembangunan manusia (IPM) dan pemenuhan terhadap beberapa hak dasar (IKM).Tantangan lainnya adalah kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di pedesaan relatif lebih tinggi di perkotaan. Data Susenas (National Socio Economic Survey) 2004 menunjukkan bahwa sekitar 69,0 persen penduduk di pedesaan termasuk miskin, dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian(Herawati, 2007).
Selain itu, tantangan lainnya adalah kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (GDI) dan angka Indeks Pemberdayaan Gender (GEM) (Herawati, 2007). Kondisi lain adalah otonomi daerah yang berdampak pada meningkatnya peran pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan, sehingga peran pemerintah sangat penting untuk keberhasilan penaggulangan kemiskinan secara nasional terutama dalam hal mendekatkan pelayanan dasar bagi masyarakat.
Ditinjaudarisumberpenyebabnyakemiskinandibagimenjadidua, yaitukemiskinankulturaldankemiskinan structural.Kemiskinan cultural adalahkemiskinan yang disebabkanolehsikap, gayahidup, nilai, orientasi social budayaseseorangataumasyarakat yang tidaksejalandenganetoskemajuan (masyarakat modern). Sikapmalas, tidakmemilikikebutuhanuntukberprestasi (need for achievement), fatalis, berorientasikemasalalu, tidakmemilikijiwawirausahaadalahkarakteristik yang umumnyadianggapsebagai cirri-cirikemiskinankultural.
Kemiskinan structural adalahkemiskinan yang disebabkankarenastrukturmasyarakat yang tidakseimbang, baikdalampemilikanataupunpengelolaansumberdaya, ketidakmerataankesempatanberusaha, ketidaksamaaninformasiatauaksesterhadapsumberdaya, ataupunkarenaadanyakebijakanpemerintah yang tidakberpihakpadamereka.Kemiskinanstrukturaldapat pula disebabkankarenakondisigeografis yang terisolir.
Ciri-cirikelompok (penduduk) miskinyaitu: 1) rata-rata tidakmempunyaifaktorproduksisendirisepertitanah, modal, peralatankerja, danketerampilan, 2) mempunyaitingkatpendidikan yang rendah, 3) kebanyakanbekerjaatauberusahasendiridanbersifatusahakecil (sector informal), setengahmenganggur (tidakbekerja), 4) kebanyakanberada di pedesaanataudaerahtertentuperkotaan (slum area), dan 5) kurangnyakesempatanuntukmemperoleh (dalamjumlah yang cukup): bahankebutuhanpokok, pakaian, perumahan, fasilitaskesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitaskomunikasi, dankesejahteraan social lainnya (Salim, 1980).
Strategiuntukmengatasikemiskinantidaklepasdarustrategipembangunan yang dianutsuatu Negara.Program-program yang telahdilakukanuntukmemerangikemiskinanseringkalitidakmemberikanhasil yang menggembirakankarenaadanyaperangkapkemiskinan (poverty trap) yang tidakberujungpangkal.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhd3FJ9dO42XCTmUH03tPuUU4nnJxuawE7tGwh1-9zVuNJAoNkmYR8O5Wy36FtPqvEO7dsdD17H23Qbob-5BL643iV-w6KWwX-10Ji4fzeDucvA8xWzlljZeRryAd2n-9kNaoBfvJKhYFsq/s640/Poverty.png











Gambar 3.1 sikluspenyebabkemiskinan
Keberhasilan pembangunan di Indonesia tidak hanya di ukur dari peningkatan pendapatan penduduk secara agregat atau per capital, tetapi juga (justru lebih penting lagi) di lihat dari distribusi peningkatan pendapatan tersebut terhadap semua anggota masyarakat. Sekarang ini, tingkat pendapatan per kapital di Indonesia sudah lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, yakni sekitar US$880. namun, apa artinya jika 10% saja dari jumlah penduduk di tanah air yang manikmati 90% dari jumlah pendapatan nasional, sedangkan sisanya (90%) hanya menikmati 10& dari pendapatan nasional selama ini hanya di nikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan kelompok 90% tidak mengalami perbaikan yang berarti. Jadi dalam kata lain, pembangunan ekonomi di Indonesia akan dikatakan berhasil sepenuhnya bila tingkat kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya bisa diperkecil
Pengaruh antara ketimpangan distribusi pendapatan terhadap kemiskinan dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk cenderung berdampak negatif terhadap penduduk miskin, terutama bagi mereka yang sangat miskin. Sebagian besar keluarga miskin memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak sehingga kondisi perekonomian mereka berada di garis kemiskinan semakin memburuk seiring dengan memburuknya ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar