Kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain di dalam pencapaian
target ekonomi yang telah ditetapkan. Secara umum terdapat empat permasalahan
ekonomi makro yang dapat dipengaruhi pemerintah melalui kebijakan fiskal dan
moneter, yaitu tingkat harga agregat (inflasi), produk domestik bruto (PDB),
penyerapan tenaga kerja (employment),
dan neraca pembayaran atau balance of
payment (BOP). Hal tersebut menunjukkan bahwa koordinasi yang kuat antara
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan dalam mencapai target
ekonomi makro yang sudah ditetapkan.
1.1 Pengertian Kebijakan
Fiskal dan Moneter
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni
menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja,
kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat
dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter
pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer
pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan
harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter
berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang
agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran
dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan
salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku
bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat
terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan
likuiditas.
Kebijakan fiskal
adalah kebijakan dari pemerintah (negara) untuk mengarahkan dan mengendalikan
jalanya roda perekonomian agar dapat dikembangkan iklim usaha yang baik, serta
mengatur agar distribusi pendapatan dapat menjadi lebih baik, melalui anggaran
pendapatan dan belanja negara. Disamping itu melalui kebijakan fiskal,
pemerintah juga dapat melakukan campur tangan melalui pembuatan-pembuatan
peraturan, pembuatan usaha negara dan kebijakn yang lainnya. Dengan kata lain
kebijaka fiskal erat berhubungan dengan APBN.
Kebijakan fiskal
juga berpengaruh langsung terhadap tingkat permintaan pasar. Peningkatan
pengeluaran (anggaran belanja) pemerintah akan bersifat ekspansioner dengan
meningkatnya permintaan. Pertama-tama pada sektor pemerintah dan kemudian
menjalar ke sektor swasta. Sejalan dengan itu, pengurangan-pengurangan pajak
bisa juga bersifat ekspansi karena para wajib pajak akan mempunyai pendapatan
disposabel yang lebih besar sehingga diharapkan akan memperoleh jumlah
pendapatan yang lebih besar.
1.2 Latar Belakang
Perekonomian yang stabil akan lebih disukai
dibandingkan dengan perekonomian yang mengalami gejolak dan guncangan.
Kestabilan perekonomian suatu negara sangat didambakan oleh semua elemen
pendukung perekonomian negara tersebut. Perekonomian yang stabil dapat menekan
laju inflasi dan menyeimbangkan peredaran jumlah uang di masyarakat. Selain
itu, perekonomian yang stabil dapat mendukung kinerja dan produktivitas usaha
dan bisnis sehingga menciptakan lapangan kerja baru dan dapat menekan tingkat
pengangguran yang terjadi. Salah satu parameter yang dapat mengukur kestabilan
perekonomian yakni dengan melihat kinerja dari stabilitas makroekonomi
diantaranya suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi, nilai tukar, dan
pengangguran.
Upaya
untuk menstabilkan perekonomian dapat dicapai baik melalui kebijakan fiskal
ataupun kebijakan moneter. Kebijakan fiskal dilakukan pemerintah melalui
instrumen pajak dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan kebijakan moneter
dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). BI sebagai lembaga otoritas moneter
melakukan stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, dimana penetapan SBI
dilakukan untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar.
Para
pembuat kebijakan, dalam hal ini bank sentral, memandang stabilisasi ekonomi
sebagai salah satu tanggung jawab utama. Dan bagi banyak ekonom, masalah
kebijakan pemerintah yang aktif adalah jelas dan sederhana perannya dalam
menstabilkan perekonomian. Resesi merupakan periode pengangguran tinggi,
pendapatan rendah, dan peningkatan tekanan ekonomi. Model permintaan dan
penawaran agregat menunjukkan bagaimana guncangan dalam perekonomian bisa
menimbulkan resesi. Model tersebut juga menunjukkan bagaimana kebijakan moneter
dan fiskal bisa mencegah resesi dengan menanggapi guncangan ini.
Namun,
ekonom lain bersikap kritis terhadap upaya pemerintah dalam menstabilkan
perekonomian. Mereka berpendapat bahwa pemerintah seharusnya melakukan
pendekatan lepas tangan terhadap kebijakan makroekonomi. Pada awalnya,
pandangan ini tampak mengejutkan. Jika model menunjukkan bagaimana
mencegah atau menurunkan tekanan resesi, mengapa para kritikus ini meminta
pemerintah tidak menggunakan kebijakan fiskal dan moneter untuk stabilisasi
ekonomi. Pendapat para ekonom tersebut antara lain akibat lambannya
implementasi dan dampak kebijakan serta sulitnya melakukan peramalan ekonomi (Mankiw,
2003,hlm.373).
1.3
Tujuan
Ditetapkannya Kebijakan Fiskal dan Moneter
Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian.
Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran
komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang
diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional (Y)
dan tingkat kesempatan kerja (N).
Kebijakan fiskal bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara
optimal. Kebijakan fiskal sangat berhubungan dengan pemasukan atau
pendapatan negara, diantara pendapatan negara antara lain misalnya bea dan
cukai, devisa negara, pariwisata, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan,
impor, dan lain-lain . Sedangkan untuk pengeluaran negara misalnya belanja
persenjataan , pesawat, proyek pemerintah, pembangunan sarana dan prasarana
umum, atau program lain yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, memang keduanya sangat menentukan
pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Sedangkan, kebijakan moneter bertujuan untuk :
a.
Mengedarkan mata uang sebagai alat pertukaran (medium of
exchange) dalam perekonomian.
- Mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan likuiditas
perekonomian dan stabilitas tingkat harga.
- Distribusi likuiditas yang optimal dalam rangka mencapai
pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pada berbagai sektor ekonomi.
- Membantu pemerintah melaksanakan kewajibannya yang tidak
dapat terealisasi melalui sumber penerimaan yang normal.
- Menjaga kestabilan Ekonomi yang artinya pertumbuhan arus
barang dan jasa seimbang dengan pertumbuhan arus barang dan jasa yang
tersedia.
- Menjaga kestabilan Harga, harga suatu barang merupakan
hasil interaksi antara jumlah uang yang beredar dengan jumlah uang yang
tersedia di pasar.
- Meningkatkan kesempatan kerja. Pada saat perekonomian
stabil pengusaha akan mengadakan investasi untuk menambah jumlah barang
dan jasa sehingga adanya investasi akan membuka lapangan kerja baru
sehingga memperluas kesempatan kerja masyarakat.
- Memperbaiki neraca Perdagangan Kerja Masyarakat. Dengan
jalan meningkatkan ekspor dan mengurangi impor dari luar negeri yang masuk
ke dalam negeri atau sebaliknya.
1.4
Rumusan Masalah
Koordinasi antara
kebijakan fsikal dan kebijakan moneter sangat diperlukan dalam menetapkan dan
mencapai target-target moneter dan defisit APBN secara konsisten dalam rangka
mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. Sebab pada umumnya
koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter selalu menjadi masalah dimana
sumber – sumber permasalahan tersebut, antara lain:
a. Ketidak jelasan
penugasan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada Departemen
Keuangan dan Bank Sentral;
b. Kedudukan Bank
Sentral dalam pemerintahan, yaitu sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan
yang independen dari pemerintah;
c. Persepsi dari
pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Departemen Keuangan mengenai koordinasi
yang harus dilakukan.
d. Instrumen yang
dipakai oleh Bank Sentral dalam operasi pasar.
e. Tingkat kemajuan
pasar modal.
Sebagai contoh pada
saat pemerintah menghadapi cash- flow,
pemerintah tidak diperbolehkan untuk meminjam uang dari Bank Indonesia untuk
menutup defisit APBN, bahkan untuk jangka pendek sekalipun sebab hal ini
bertentangan dengan Undang - Undang No.23 tahun 1999. Bank Indonesia mempunyai
kekuasaan penuh di dalam menetapkan/ mengatur jumlah uang yang beredar dalam
perekonomian. Akan tetapi asumsi yang dipakai dalam hal ini adalah bahwa kurs
mata uang adalah tetap. Dalam hal floating
exchange rate system, pelaksanaannya akan lebih rumit sebab kebijakan
fiskal akan mempengaruhi kurs rupiah yang pada akhirnya akan mempengaruhi
jumlah uang yang beredar. Dengan demikian, walaupun Bank Indonesia memegang
kebebasan penuh dalam mengatur jumlah uang yang beredar, koordinasi antara
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kebijakan
moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mewujudkan stabilitas ekonomi
makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional. Kerangka
strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan moneter
(stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja) serta
strategi untuk mencapainya (exchange Rate targeting, monetary targeting,
Inflation targeting, implicit but not explicit anchor) (Warjiyo dan
Solikin, 2004). Kerangka operasional kebijakan moneter terdiri dari instrumen,
sasaran-operasional, dan sasaran-antara yang digunakan untuk mencapai sasaran
akhir. Sasaran-antara diperlukan karena adanya time lag antara
pelaksanaan kebijakan moneter dengan hasil pencapaian sasaran akhir, sehingga
untuk meninjau keefektifan suatu kebijakan maka diperlukan adanya kebijakan
yang dapat dilihat dengan segera. Untuk mencapai sasaran antara ini, diperlukan
adanya sasaran operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai rencana.
Kriteria dari sasaran-operasional ini adalah memiliki kestabilan hubungan
dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank sentral, dan informasi
tersedia lebih awal dari pada sasaran-antara. Sedangkan instrumen moneter
merupakan instrumen yang dimiliki bank sentral yang dapat mempengaruhi sasaran
operasional yang telah ditetapkan.
2.1
Hipotesa
Menurut Nopirin, kebijakan moneter adalah
tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (biasanya bank sentral) untuk
mempengaruhi jumlah uang beredar dan kredit yang pada gilirannya akan
mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat (Nopirin, 1992:45). Bank sentral
adalah lembaga yang berwenang mengambil langkah kebijakan moneter untuk
mempengaruhi jumlah uang beredar.
Menurut Iswardono, kebijakan moneter
merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan
moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan, dan
keseimbangan neraca pembayaran (Iswardono, 1997 : 126).
Teori
Keynes memiliki pendapat yang berbeda dengan teori klasik. Teori yang kemudian
dikembangkan oleh aliran Keynesian modern ini menekankan pada beberapa jalur
(mekanisme transmisi) dalam kebijakan moneter. Jalur-jalur tersebut cenderung
menyebabkan efek dari kebijakan moneter menjadi tidak pasti. Keynes lebih
menekankan pada penggunaan kebijakan fiskal dalam perekonomian. Menurut Keynes,
dengan cara pembiayaan apapun, efek dari kebijakan fiskal ekspansif tetap akan
positif. Dalam perkembangannya, teori klasik dan teori Keynes kemudian
digabungkan dalam teori baru yang disebut teori sintesis klasik-Keynesian yang
tercermin dalam model IS-LM. Teori ini merupakan perwujudan dari konsep bauran
kebijakan (policy mix) yang biasa dipakai dalam perekonomian suatu negara.
2.2
Pembahasan
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh
dalam kegiatan perekonomian. Masing-masing variabel kebijakan tersebut,
kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan
pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Sedangkan variabel utama dalam
kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga. Berbicara tentang
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan
perekonomian empat sektor, dimana sektor-sektor tersebut diantaranya sektor
rumah tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia
internasional/luar negeri. Ke-empat sektor ini memiliki hubungan interaksi
masing-masing dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran.
Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula dan
suasana ketidakpastiannya sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap
perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran ekonomi dunia terlihat makin
suram dari hari ke hari walaupun semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga
sampai tingkat yang terendah. Tingkat bunga yang sedemikian rendahnya itu
justru menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan moneter menjadi terbatas,
sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan fiscal. Menurut Mohamad
Ikhsan,(http://majalah.tempointeraktif.com) negara-negara yang tergabung dalam G-20 dalam
konferensi bersamanya baru ini sepakat mendorong lebih cepat ekspansi kebijakan
fiskal minimal 2% dari produk domestik bruto untuk memulihkan perekonomian
dunia. Meskipun secara teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi
sebagai stimulus perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali terdapat
hambatan. Hambatan ini dirasakan terutama di negara berkembang.
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara
dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan
pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis
sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat
dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat
dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan
penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut
pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam
perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar
negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi, yang dimaksud
dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan
pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara.
Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk
dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh
besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal
ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya
tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut
dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah
(prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan
pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam
negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan
yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi.
Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan
bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya
diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting
diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri
tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam
perekonomian . Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri,
maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri
tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan
sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar
negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri,
maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan
menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan
penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan
menimbulkan tekanan inflasi.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar
negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal
pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu
lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat
dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang
positif menunjukkan adanya cash inflow.
2.2.1
Barometer Keberhasilan dan
Instrumen Kebijakan Moneter
Keberhasilan sebuah kebijakan moneter dapat diukur melalui beberapa hal,
diantaranya :
a. Kesempatan Kerja,
semakin besar gairah untuk berusaha, maka akan mengakibatkan peningkatan
produksi. Peningkatan produksi ini akan diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja.
Hal ini berarti akan terjadinya peningkatan kesempatan kerja dan kesehjateraan
karyawan.
b. Kestabilan harga,
apabila kestablian harga tercapai maka akan menimbulkan kepercyaan di
masyarakat. Masyarakat percaya bahwa barang yang mereka beli sekarang akan sama
dengan harga yang akan masa depan.
c. Neraca Pembayaran
Internasional, neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan
stabilisasi ekonomi di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional
seimbang, maka pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan moneter.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah
atau mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kemudian, kebijakan moneter dapat dilakukan
dengan menjalankan beberapa instrumen, yaitu antara lain :
a.
Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar
terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli
surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah
uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila
ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat
berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain
diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU
atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
- Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto
adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga
bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan
uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang
bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta
sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar
berkurang.
- Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio
cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan
jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk
menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk
menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
- Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah
kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi
imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan
pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk
mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang
lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada
perekonomian.
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana
tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai
rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang
tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank
Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran
utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem
nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar
sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh
karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk
mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan
nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia
memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran
moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga
sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional,
pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen,
antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta
asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan
pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan
cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
2.2.2
Kaitan dan Koordinasi Kebijakan Dalam Jangka Panjang dan
Jangka Pendek
Sebagaiman kita ketahui
bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi pasar uang dan pasar surat berharga,
dan pasar uang dan surat berhargta itu akan menentukan tinggi rendahnya tingkat
bunga, dan tingkat bunga akan memperngaruhi tingkat agregat. Kebijakan fiskal
akan mempunyai pengaruh terhadap permintaan dan penawaran agregat, yang pada
giliranya permintaan dan penawaran agregat itu akan menentukan keadaan di pasar
barang dan jasa. Kondisi di pasar barang dan jasa ini akan menentukan tingkat
harga dan kesempatan kerja akan menentukan tingkat pendapatan dan tingkat upah
yang di harapkan. Keduanya akan memiliki umpan balik yaitu pendapatan akan
memberikan umpan balik terhadap permintaan agregat dan upah harapan mempunyai
umpan balik terhadap penawaran agregat dan pasar uang serta pasar surat
berharga.
Beberapa hasil
studi telah melahirkan beberapa kajian baru tentang koordinasi kebijakkan
fiskal dan moneter. Dalam jangka panjang (Hagen dan Mundshenk, 2003) target
kebijakan moneter yang dibuat bank sentral adalah untuk mengendalikan tingkat
inflasi tanpa memikirkan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu kebijakan
pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal suatu negara bertujuan untuk meningkatkan
output kepada sektor swasta dan sektor publik tetapi tidak dalam tingkat output
dan mendistribusikan output kepada sektor swasta dan sektor publik dalam jangka
panjang, bank sentral akan dapat mencapai sasaran kebijakannya yaitu stabilitas
harga, tanpa bertentangan dengan kebijakan fiskal. Pemerintah dapat menggunakan
alternatif kebijakan fiskal cocok dan sesuai yang dibutuhkan negara saat itu.
Pada posisi tersebut, tidak diperlukan adanya koordinasi antara kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter.
2.3
Studi Kasus
Inflasi dan perekonomian Indonesia sangat
saling berkaitan. Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit endemis dan
berakar di sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih
rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Soekarno, karena
kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang,
cetak saja”). Di zaman Soeharto, pemerintah berusaha menekan inflasi – akan
tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata, antara lainnya karena
Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of
development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman
reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia
mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena
inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya
bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5
persen setahun.
Tanda-tanda perekonomian mulai mengalami
penurunan adalah ditahun 1997 dimana pada masa itulah awal terjadinya krisis.
Saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar pada level 4,7 persen,
sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang 7,8 persen. Kondisi keamanan
yang belum kondusif akan sangat memengaruhi iklim investasi di Indonesia.
Mungkin hal itulah yang terus diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini sangat
berhubungan dengan aktivitas kegiatan ekonomi yang berdampak pada penerimaan
negara serta pertumbuhan ekonominya. Adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan akan menjanjikan harapan bagi perbaikan kondisi ekonomi dimasa
mendatang. Bagi Indonesia, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka harapan
meningkatnya pendapatan nasional (GNP), pendapatan persaingan kapita akan semakin
meningkat, tingkat inflasi dapat ditekan, suku bunga akan berada pada tingkat
wajar dan semakin bergairahnya modal bagi dalam negeri maupun luar negeri.
Namun semua itu bisa terwujud apabila
kondisi keamanan dalam negeri benar-benar telah kondusif. Kebijakan pemerintah
saat ini di dalam pemberantasan terorisme, serta pemberantasan korupsi sangat
turut membantu bagi pemulihan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang merupakan
salah satu indikator makro ekonomi menggambarkan kinerja perekonomian suatu negara
akan menjadi prioritas utama bila ingin menunjukkan kepada pihak lain bahwa
aktivitas ekonomi sedang berlangsung dengan baik pada negaranya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebijakan fiskal dan
moneter adalah kebijakan yang di lakukan dengan tujuan untuk mengelola isi
permintaan barang dan jasa, untuk mempertahankan produksi yang mendekati full
employment dan untuk mempertahankan tingkat harga barang dan jasa agar inflasi
dan deflasi tidak terjadi.
Bagi negara sedang
berkembang sebenarnya sulit untuk menyesuaikan antara pendapatan negara yang
sedang berkembang rendah sedangkan kebutuhan untuk menyediakan barang dan jasa
serta membelanjai pengeluaran yang lainya lebih besar. Sedangkan kebijakan
campuran adalah merupakan campuran daari dua kebijakan bdiatas yang di lakukan
dengan cara mengubah pengeluaran, pengenaan pajak ataupun jumlah uang yang
beredar secara bersama-sama.
Dari sudut
ekonomi makro maka kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua yaitu Kebijakan
Fiskal Ekspansif dan Kebijakan Fiskal Kontraktif. Kebijakan Fiskal Ekspansif
adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian
untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran
pemerintah, pada saat munculnya kontraksional gap Kebijakan Fiskal Kontraktif
adalah kebijakan pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara dan menaikkan
tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat
dan mengatasi inflasi. kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih
besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan
ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating)
untuk menurunkan tekanan permintaan. pada saat munculnya ekpansionary
gap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar