Minggu, 29 Maret 2015

Kebijakan Fiskal dan Moneter



 Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain di dalam pencapaian target ekonomi yang telah ditetapkan. Secara umum terdapat empat permasalahan ekonomi makro yang dapat dipengaruhi pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter, yaitu tingkat harga agregat (inflasi), produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja (employment), dan neraca pembayaran atau balance of payment (BOP). Hal tersebut menunjukkan bahwa koordinasi yang kuat antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan dalam mencapai target ekonomi makro yang sudah ditetapkan.

1.1  Pengertian Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan dari pemerintah (negara) untuk mengarahkan dan mengendalikan jalanya roda perekonomian agar dapat dikembangkan iklim usaha yang baik, serta mengatur agar distribusi pendapatan dapat menjadi lebih baik, melalui anggaran pendapatan dan belanja negara. Disamping itu melalui kebijakan fiskal, pemerintah juga dapat melakukan campur tangan melalui pembuatan-pembuatan peraturan, pembuatan usaha negara dan kebijakn yang lainnya. Dengan kata lain kebijaka fiskal erat berhubungan dengan APBN.
Kebijakan fiskal juga berpengaruh langsung terhadap tingkat permintaan pasar. Peningkatan pengeluaran (anggaran belanja) pemerintah akan bersifat ekspansioner dengan meningkatnya permintaan. Pertama-tama pada sektor pemerintah dan kemudian menjalar ke sektor swasta. Sejalan dengan itu, pengurangan-pengurangan pajak bisa juga bersifat ekspansi karena para wajib pajak akan mempunyai pendapatan disposabel yang lebih besar sehingga diharapkan akan memperoleh jumlah pendapatan yang lebih besar.

1.2  Latar Belakang

Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan dengan perekonomian yang mengalami gejolak dan guncangan. Kestabilan perekonomian suatu negara sangat didambakan oleh semua elemen pendukung perekonomian negara tersebut. Perekonomian yang stabil dapat menekan laju inflasi dan menyeimbangkan peredaran jumlah uang di masyarakat. Selain itu, perekonomian yang stabil dapat mendukung kinerja dan produktivitas usaha dan bisnis sehingga menciptakan lapangan kerja baru dan dapat menekan tingkat pengangguran yang terjadi. Salah satu parameter yang dapat mengukur kestabilan perekonomian yakni dengan melihat kinerja dari stabilitas makroekonomi diantaranya suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi, nilai tukar, dan pengangguran. 
Upaya untuk menstabilkan perekonomian dapat dicapai baik melalui kebijakan fiskal ataupun kebijakan moneter.  Kebijakan fiskal dilakukan pemerintah melalui instrumen pajak dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan kebijakan moneter dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).  BI sebagai lembaga otoritas moneter melakukan stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, dimana penetapan SBI dilakukan untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar.
Para pembuat kebijakan, dalam hal ini bank sentral, memandang stabilisasi ekonomi sebagai salah satu tanggung jawab utama. Dan bagi banyak ekonom, masalah kebijakan pemerintah yang aktif adalah jelas dan sederhana perannya dalam menstabilkan perekonomian.  Resesi merupakan periode pengangguran tinggi, pendapatan rendah, dan peningkatan tekanan ekonomi.  Model permintaan dan penawaran agregat menunjukkan bagaimana guncangan dalam perekonomian bisa menimbulkan resesi. Model tersebut juga menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dan fiskal bisa mencegah resesi dengan menanggapi guncangan ini. 
Namun, ekonom lain bersikap kritis terhadap upaya pemerintah dalam menstabilkan perekonomian.  Mereka berpendapat bahwa pemerintah seharusnya melakukan pendekatan lepas tangan terhadap kebijakan makroekonomi.  Pada awalnya, pandangan ini tampak mengejutkan.  Jika model menunjukkan bagaimana mencegah atau menurunkan tekanan resesi, mengapa para kritikus ini meminta pemerintah tidak menggunakan kebijakan fiskal dan moneter untuk stabilisasi ekonomi.  Pendapat para ekonom tersebut antara lain akibat lambannya implementasi dan dampak kebijakan serta sulitnya melakukan peramalan ekonomi (Mankiw, 2003,hlm.373).
1.3  Tujuan Ditetapkannya Kebijakan Fiskal dan Moneter
Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).
Kebijakan fiskal bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara optimal. Kebijakan fiskal sangat berhubungan dengan pemasukan atau pendapatan negara, diantara pendapatan negara antara lain misalnya bea dan cukai, devisa negara, pariwisata, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, impor, dan lain-lain . Sedangkan untuk pengeluaran negara misalnya belanja persenjataan , pesawat, proyek pemerintah, pembangunan sarana dan prasarana umum, atau program lain yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, memang keduanya sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Sedangkan, kebijakan moneter bertujuan untuk :
a.       Mengedarkan mata uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dalam perekonomian.
  1. Mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan likuiditas perekonomian dan stabilitas tingkat harga.
  2. Distribusi likuiditas yang optimal dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pada berbagai sektor ekonomi.
  3. Membantu pemerintah melaksanakan kewajibannya yang tidak dapat terealisasi melalui sumber penerimaan yang normal.
  4. Menjaga kestabilan Ekonomi yang artinya pertumbuhan arus barang dan jasa seimbang dengan pertumbuhan arus barang dan jasa yang tersedia.
  5. Menjaga kestabilan Harga, harga suatu barang merupakan hasil interaksi antara jumlah uang yang beredar dengan jumlah uang yang tersedia di pasar.
  6. Meningkatkan kesempatan kerja. Pada saat perekonomian stabil pengusaha akan mengadakan investasi untuk menambah jumlah barang dan jasa sehingga adanya investasi akan membuka lapangan kerja baru sehingga memperluas kesempatan kerja masyarakat.
  7. Memperbaiki neraca Perdagangan Kerja Masyarakat. Dengan jalan meningkatkan ekspor dan mengurangi impor dari luar negeri yang masuk ke dalam negeri atau sebaliknya.
1.4  Rumusan Masalah
Koordinasi antara kebijakan fsikal dan kebijakan moneter sangat diperlukan dalam menetapkan dan mencapai target-target moneter dan defisit APBN secara konsisten dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. Sebab pada umumnya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter selalu menjadi masalah dimana sumber – sumber permasalahan tersebut, antara lain:
a.       Ketidak jelasan penugasan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada Departemen Keuangan dan Bank Sentral;
b.      Kedudukan Bank Sentral dalam pemerintahan, yaitu sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan yang independen dari pemerintah;
c.       Persepsi dari pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Departemen Keuangan mengenai koordinasi yang harus dilakukan.
d.      Instrumen yang dipakai oleh Bank Sentral dalam operasi pasar.
e.       Tingkat kemajuan pasar modal.

Sebagai contoh pada saat pemerintah menghadapi cash- flow, pemerintah tidak diperbolehkan untuk meminjam uang dari Bank Indonesia untuk menutup defisit APBN, bahkan untuk jangka pendek sekalipun sebab hal ini bertentangan dengan Undang - Undang No.23 tahun 1999. Bank Indonesia mempunyai kekuasaan penuh di dalam menetapkan/ mengatur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Akan tetapi asumsi yang dipakai dalam hal ini adalah bahwa kurs mata uang adalah tetap. Dalam hal floating exchange rate system, pelaksanaannya akan lebih rumit sebab kebijakan fiskal akan mempengaruhi kurs rupiah yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Dengan demikian, walaupun Bank Indonesia memegang kebebasan penuh dalam mengatur jumlah uang yang beredar, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan.




BAB II
PEMBAHASAN

Kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mewujudkan stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional. Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja) serta strategi untuk mencapainya (exchange Rate targeting, monetary targeting, Inflation targeting, implicit but not explicit anchor) (Warjiyo dan Solikin, 2004). Kerangka operasional kebijakan moneter terdiri dari instrumen, sasaran-operasional, dan sasaran-antara yang digunakan untuk mencapai sasaran akhir. Sasaran-antara diperlukan karena adanya time lag antara pelaksanaan kebijakan moneter dengan hasil pencapaian sasaran akhir, sehingga untuk meninjau keefektifan suatu kebijakan maka diperlukan adanya kebijakan yang dapat dilihat dengan segera. Untuk mencapai sasaran antara ini, diperlukan adanya sasaran operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai rencana. Kriteria dari sasaran-operasional ini adalah memiliki kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank sentral, dan informasi tersedia lebih awal dari pada sasaran-antara. Sedangkan instrumen moneter merupakan instrumen yang dimiliki bank sentral yang dapat mempengaruhi sasaran operasional yang telah ditetapkan.
2.1  Hipotesa
Menurut Nopirin, kebijakan moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moneter (biasanya bank sentral) untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan kredit yang pada gilirannya akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat (Nopirin, 1992:45). Bank sentral adalah lembaga yang berwenang mengambil langkah kebijakan moneter untuk mempengaruhi jumlah uang beredar.
Menurut Iswardono, kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan, dan keseimbangan neraca pembayaran (Iswardono, 1997 : 126).
Teori Keynes memiliki pendapat yang berbeda dengan teori klasik. Teori yang kemudian dikembangkan oleh aliran Keynesian modern ini menekankan pada beberapa jalur (mekanisme transmisi) dalam kebijakan moneter. Jalur-jalur tersebut cenderung menyebabkan efek dari kebijakan moneter menjadi tidak pasti. Keynes lebih menekankan pada penggunaan kebijakan fiskal dalam perekonomian. Menurut Keynes, dengan cara pembiayaan apapun, efek dari kebijakan fiskal ekspansif tetap akan positif. Dalam perkembangannya, teori klasik dan teori Keynes kemudian digabungkan dalam teori baru yang disebut teori sintesis klasik-Keynesian yang tercermin dalam model IS-LM. Teori ini merupakan perwujudan dari konsep bauran kebijakan (policy mix) yang biasa dipakai dalam perekonomian suatu negara.
2.2  Pembahasan
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Masing-masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga. Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor-sektor tersebut diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing-masing dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran.
Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula dan suasana ketidakpastiannya sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran ekonomi dunia terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah. Tingkat bunga yang sedemikian rendahnya itu justru menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan moneter menjadi terbatas, sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan fiscal. Menurut Mohamad Ikhsan,(http://majalah.tempointeraktif.com) negara-negara yang tergabung dalam G-20 dalam konferensi bersamanya baru ini sepakat mendorong lebih cepat ekspansi kebijakan fiskal minimal 2% dari produk domestik bruto untuk memulihkan perekonomian dunia. Meskipun secara teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi sebagai stimulus perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali terdapat hambatan. Hambatan ini dirasakan terutama di negara berkembang.
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian . Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.

2.2.1        Barometer Keberhasilan dan Instrumen Kebijakan Moneter
Keberhasilan sebuah kebijakan moneter dapat diukur melalui beberapa hal, diantaranya :
a.       Kesempatan Kerja, semakin besar gairah untuk berusaha, maka akan mengakibatkan peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini akan diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja. Hal ini berarti akan terjadinya peningkatan kesempatan kerja dan kesehjateraan karyawan.
b.      Kestabilan harga, apabila kestablian harga tercapai maka akan menimbulkan kepercyaan di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa barang yang mereka beli sekarang akan sama dengan harga yang akan masa depan.
c.       Neraca Pembayaran Internasional, neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional seimbang, maka pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan moneter. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kemudian, kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan beberapa instrumen, yaitu antara lain :
a.       Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
  1. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
  2. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
  3. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
2.2.2        Kaitan dan Koordinasi Kebijakan Dalam Jangka Panjang dan Jangka Pendek
Sebagaiman kita ketahui bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi pasar uang dan pasar surat berharga, dan pasar uang dan surat berhargta itu akan menentukan tinggi rendahnya tingkat bunga, dan tingkat bunga akan memperngaruhi tingkat agregat. Kebijakan fiskal akan mempunyai pengaruh terhadap permintaan dan penawaran agregat, yang pada giliranya permintaan dan penawaran agregat itu akan menentukan keadaan di pasar barang dan jasa. Kondisi di pasar barang dan jasa ini akan menentukan tingkat harga dan kesempatan kerja akan menentukan tingkat pendapatan dan tingkat upah yang di harapkan. Keduanya akan memiliki umpan balik yaitu pendapatan akan memberikan umpan balik terhadap permintaan agregat dan upah harapan mempunyai umpan balik terhadap penawaran agregat dan pasar uang serta pasar surat berharga.
Beberapa hasil studi telah melahirkan beberapa kajian baru tentang koordinasi kebijakkan fiskal dan moneter. Dalam jangka panjang (Hagen dan Mundshenk, 2003) target kebijakan moneter yang dibuat bank sentral adalah untuk mengendalikan tingkat inflasi tanpa memikirkan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu kebijakan pengeluaran pemerintah dalam kebijakan fiskal suatu negara bertujuan untuk meningkatkan output kepada sektor swasta dan sektor publik tetapi tidak dalam tingkat output dan mendistribusikan output kepada sektor swasta dan sektor publik dalam jangka panjang, bank sentral akan dapat mencapai sasaran kebijakannya yaitu stabilitas harga, tanpa bertentangan dengan kebijakan fiskal. Pemerintah dapat menggunakan alternatif kebijakan fiskal cocok dan sesuai yang dibutuhkan negara saat itu. Pada posisi tersebut, tidak diperlukan adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.


2.3  Studi Kasus
Inflasi dan perekonomian Indonesia sangat saling berkaitan. Inflasi di Indonesia diumpamakan seperti penyakit endemis dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Soekarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Soeharto, pemerintah berusaha menekan inflasi – akan tetapi tidak bisa di bawah 10 persen setahun rata-rata, antara lainnya karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun.
Tanda-tanda perekonomian mulai mengalami penurunan adalah ditahun 1997 dimana pada masa itulah awal terjadinya krisis. Saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar pada level 4,7 persen, sangat rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang 7,8 persen. Kondisi keamanan yang belum kondusif akan sangat memengaruhi iklim investasi di Indonesia. Mungkin hal itulah yang terus diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini sangat berhubungan dengan aktivitas kegiatan ekonomi yang berdampak pada penerimaan negara serta pertumbuhan ekonominya. Adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan menjanjikan harapan bagi perbaikan kondisi ekonomi dimasa mendatang. Bagi Indonesia, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi maka harapan meningkatnya pendapatan nasional (GNP), pendapatan persaingan kapita akan semakin meningkat, tingkat inflasi dapat ditekan, suku bunga akan berada pada tingkat wajar dan semakin bergairahnya modal bagi dalam negeri maupun luar negeri.
Namun semua itu bisa terwujud apabila kondisi keamanan dalam negeri benar-benar telah kondusif. Kebijakan pemerintah saat ini di dalam pemberantasan terorisme, serta pemberantasan korupsi sangat turut membantu bagi pemulihan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator makro ekonomi menggambarkan kinerja perekonomian suatu negara akan menjadi prioritas utama bila ingin menunjukkan kepada pihak lain bahwa aktivitas ekonomi sedang berlangsung dengan baik pada negaranya.

BAB III
      PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Kebijakan fiskal dan moneter adalah kebijakan yang di lakukan dengan tujuan untuk mengelola isi permintaan barang dan jasa, untuk mempertahankan produksi yang mendekati full employment dan untuk mempertahankan tingkat harga barang dan jasa agar inflasi dan deflasi tidak terjadi.
Bagi negara sedang berkembang sebenarnya sulit untuk menyesuaikan antara pendapatan negara yang sedang berkembang rendah sedangkan kebutuhan untuk menyediakan barang dan jasa serta membelanjai pengeluaran yang lainya lebih besar. Sedangkan kebijakan campuran adalah merupakan campuran daari dua kebijakan bdiatas yang di lakukan dengan cara mengubah pengeluaran, pengenaan pajak ataupun jumlah uang yang beredar secara bersama-sama.

Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua yaitu Kebijakan Fiskal Ekspansif dan Kebijakan Fiskal Kontraktif. Kebijakan Fiskal Ekspansif adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah, pada saat munculnya kontraksional gap Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. pada saat munculnya ekpansionary gap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar